Thursday, August 4, 2011

Dialog Diri


“Pagi ini kenapa matahari bersinar begitu indah?”

Hati: “Itu karena Allah Swt hendak menunjukkan bahwa Dia sayang padamu”

“Apakah itu benar?”

Hati: “Kenapa kamu tidak juga sadar?  Pagi ini setelah sahur Allah membuat kamu tertidur dan membangunkan kamu sebelum langit menjadi terang. Kamu berangkat lebih telat tapi Allah membuat kamu menemukan jalan pintas menuju stasiun. Kamu lama mengantri tiket ketika kereta datang dan kamu berjalan sangat lambat karena pasrah tertinggal kereta, tapi kereta itu seperti tetap 'menunggu' kamu dan baru menutup pintu setelah kamu masuk. Sekarang kamu berdiri tepat di depan pintu, tapi tidak ada penumpang yang mendorong-dorong tubuhmu ke belakang. Kamu bisa berdiri dengan nyaman dan bernafas dengan lapang. Kamu juga bisa bebas menatap pemandangan di luar.”

“Iya, itu benar.  Tapi kenapa rasanya hati ini begitu sulit?”, kataku sambil terus menatap langit pagi selagi kereta terus berjalan.

Hati: “Lihat itu..”

Kereta bergerak melambat di Stasiun Cawang, kulihat tiga orang berpakaian kumal tidur beralaskan kardus di bawah bangku tunggu penumpang.

Hati: “Keadaan mereka juga sulit. Tapi Allah tidak pernah memberikan manusia cobaan melebihi batas kemampuannya”

“Aku tahu.. Secara teori aku tahu. Tapi pada kenyataannya aku merasa kadang tidak kuat”

Hati: “Iya, Allah Swt menguji manusia sampai pada titik iman yang terlemah. Dan yang kamu jalani sekarang adalah pertanda bahwa Allah Maha Tahu bahwa kamu kuat untuk ini”.

“Sampai kapankah harus bersabar”

Hati: “Sampai batas waktu yang Allah mau. Apakah tidak cukup bahwa kamu dicintai Allah?”

“Cukup.. Seharusnya itu lebih dari cukup”

Hati serasa basah oleh gerimis, mataku kembali mengikuti matahari yang terus bergerak masuk ke balik awan.

“Ahh.. kenapa mataharinya menghilang? Apakah Allah marah padaku?”

Hati: “Berbaik sangkalah pada Allah. Bagaimana rasanya jika Allah menjauh darimu?”

“Aku tidak mau Allah menjauh...”

Terus kutatap matahari, sinarnya kembali menyembul dari balik awan.

Hati: “Nikmat Allah itu begitu besar bukan? Bahkan kamu mencari-cari pancaran sinar matahari”

Kereta berhenti di Stasiun Tebet, dari balik pintu kulihat seorang ibu yang baru turun ditunggu pria (yang mungkin suaminya) di depan gerbong wanita. Bapak itu mengambil kursi lipat dari tangan istrinya, dan membantu melipatnya kembali. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi aku merasa iri dengan mereka.

“Aku juga mau bahagia seperti itu, mereka sudah tua tapi terlihat harmonis”

Hati: “Bersabarlah... Manusia punya rencana, tapi rencana Allah adalah yang terindah. Yang perlu kamu lakukan adalah bersabar sampai saat itu datang, semua akan indah pada waktunya”

“Iya, saat ini aku hanya bisa bersabar, semoga kedua orangtuaku juga diberkahi Allah dengan kesabaran. Semoga Allah memberiku kekuatan dalam kesabaran”

Kereta bergerak menuju Stasiun Manggarai. Di salah satu tembok di pinggir jalan ada spanduk bergambar karikatur Gubernur Jakarta dan bertuliskan kalimat: “Sabar itu Dahsyat Cing!”.

“hehehe... bisa pas begitu”

Hati: “Iya, tidakkah kamu sadar? Allah sedang meminta kamu untuk bersabar”.

“Iya, dan sekarang aku rindu pada Allah”.

Air mataku nyaris keluar, dari balik awan kulihat matahari kembali bergerak menunjukkan wajah.

“Mataharinya muncul lagi”

Hati: “Allah mencintaimu”

“Aamiin. Aku mencintai-Mu Allah”.

Sambil berjalan menuju tangga di stasiun, kudengar hati berbisik.

Hati: “Sabar itu hidayah”