Sunday, September 4, 2011

Ma'idaturrahman


Kalau hidup sekedar hidup,
Babi di hutan juga hidup
Kalau kerja sekedar kerja,
Kera juga bekerja
-Buya Hamka -


Kira-kira begitulah isi petuah Buya Hamka yang seringkali dipaparkan Ustad Bachtiar Nasir di kelas pengajian kamis malam kami. Beliau tidak mau kami hanya sekedar menjadi pemuda dan pemudi muslim biasa, tidak mau kami mentadaburi ayat-ayat suci Al-Qur’an tanpa mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.

Dan beginilah hasilnya, di bulan suci Ramadhan tahun ini aku mengikuti kegiatan baru yang namanya tercetak indah pada spanduk bertema besar:

Ma’idaturrahman
(Sajian berbuka puasa gratis)


Kalau kebetulan pada bulan Ramadhan kemarin, menjelang maghrib Anda melihat ada segerombolan muda mudi berompi biru membagikan kotak putih berisi tajil di beberapa titik macet sekitar lampu merah daerah Jakarta Utara/ Jakarta Pusat/ Jakarta Barat/ Jakarta Selatan/ Jakarta Timur atau di daerah Tangerang Selatan, Anda mungkin telah bertemu dengan kami, tim Ma’idaturrahman.

Kegiatan kami sederhana, sekedar membagikan tajil berbuka puasa bagi orang-orang yang terkena macet di waktu menjelang maghrib. Di setiap titik kami membagikan sekitar 300 kotak tajil yang umumnya berisikan satu air mineral dalam kemasan gelas, satu plastik kecil kurma, dan snack manis/ asin seperti roti, risoles, atau berbagai kue lainnya yang umumnya biasa aku temui sebagai snack rapat di kantor. Tapi siapa sangka di balik kegiatan sederhana ini, aku mendapatkan banyak hikmah.

Pertama, aku gak pernah berpikir bahwa hanya untuk mendapat satu kotak tajil orang-orang akan dengan antusias menepikan kendaraannya dan mengantri di depan kami.

Ini kualami saat kami membagikan tajil di sekitar Halte PPM, Jl.Tugu Tani Jakarta Pusat. Kebetulan aku bergabung dengan tim Jakarta Pusat yang titik pembagiannya relatif lebih dekat dengan lokasi kantor.

Tentunya yang mengantri adalah para pengendara motor, yang Alhamdulillah cenderung tertib dan segera bergegas melaju setelah berhasil mendapatkan tajil dari kami. Tapi yang membuat mulutku menganga adalah ketika sebuah truk juga ikut menepi. Ya Allah… kotak-kotak tajil berisikan makanan kecil ini benar-benar dibutuhkan banyak orang yang terjebak macet.

Kedua, rasa bahagia bisa memberikan makanan bagi orang-orang yang membutuhkan.

Di tengah kemacetan ibukota, kulihat wajah-wajah lelah para pekerja. Raut wajah harap-harap cemas akan bisa sampai rumah sebelum azan maghrib berkumandang, dan wajah lelah pengemudi kendaraan umum yang tetap harus bekerja mengantarkan penumpang demi mengejar setoran. Senyumku dengan mudahnya mengembang saat membagikan kotak tajil, bahkan untuk para pengemudi bajaj maupun kernet metromini yang biasanya menjadi sasaran sumpah serapah saat menyetir mobil pribadi. Yang kupikirkan hanya bahwa mereka butuh, dan aku belajar tentang kepedulian.

Ketiga, aku belajar tentang kesabaran dan keikhlasan untuk menyenangkan hati orang lain.

Pernah ditolak saat membagikan flyer kegiatan atau promosi event perusahaan? Aku pernah, dan rasanya berbeda dengan ditolak saat membagikan makanan gratis. Jika flyer kegiatan/ promosi perusahaan ditolak karena biasanya orang cenderung malas membaca iklan, di luar dugaan ternyata kami juga menemui kesulitan membagikan tajil walaupun secara gratis. Para pengendara mobil pribadi umumnya adalah yang tersulit untuk menjadi target, karena selain biasanya posisi kendaraan mereka berada di tempat yang “menantang” alias lebih ke tengah jalan, kami juga harus berbesar hati mengetuk jendela mobil mereka untuk menawarkan tajil. Dan itu pun tidak semuanya mau menerima, bahkan enggan untuk sekedar menurunkan kaca mobil.

Dari cerita di milis juga ada pengalaman teman yang ditolak karena orang merasa takut. Iya, takut.. Agak geli juga membacanya. Ternyata ada juga orang yang takut kami memberi obat bius di makanannya, atau mungkin juga takut kami mintai uang untuk membayar tapi mereka malas bertanya. Ternyata pakai rompi biru Ma’idaturrahman juga bukan sepenuhnya menjamin orang akan percaya dengan kami.

Tapi yang aku dan (mungkin) teman-teman pikirkan, bahwa 300 kotak tajil itu harus habis dan orang-orang yang sedang terkena macet bisa segera berbuka puasa. Ini adalah pelajaran dari Allah tentang membangun rasa sabar dan ikhlas.

Keempat, pelajaran tentang bekerja keras karena Allah.

Ada pengalaman lucu dari seorang teman. Waktu itu tim Jakarta Pusat sedang bertugas di Jl. Tugu Tani dan dia naik ke atas metromini untuk membagikan tajil kepada para penumpang. Di luar dugaan jalanan menjadi lancar, dan metromini membawanya sampai ke Tanah Abang.

Suatu waktu saat membagikan tajil di sekitar Jl. Budi Kemulyaan (dekat gedung Bank Indonesia), kami harus memecah tim karena lagi-lagi jalanan juga lancar. Kami pun berpencar dan terburu-buru karena khawatir tertabrak kendaraan.

Di hari ke-19 Ramadhan mungkin adalah satu dari pengalaman paling melelahkan. Jumat sore itu lalu lintas di Jakarta Pusat macet total. Sampai mendekati maghrib mobil yang membawa snack box kami masih belum juga sampai dan terjebak macet di Jl. Kebon Sirih. Akhirnya kami mengejar dengan naik ojek ke arah stasiun Gondangdia, dan lanjut  mencari dengan berjalan kaki. Setelah azan maghrib berkumandang kami baru menemukan mobil tersebut dan berpencar membagikan tajil langsung di lokasi.

Dan (menurutku) yang paling melelahkan adalah Senin, 22 Agustus 2011. Karena waktu yang mendekati akhir Ramadhan, kami memindahkan lokasi ke Stasiun Gambir untuk membagikan tajil kepada para pemudik. Jumlah snack box pun ditambahkan menjadi 500 box. Namun di luar dugaan ternyata kami terganjal perizinan, sehingga hanya bisa menyebar di sekitar lobby stasiun. Disana pun kami menemui banyak ganjalan seperti: jumlah pemudik kereta yang ternyata masih sedikit, banyaknya kios yang menjual makanan, dan kami juga mulai dikerumuni oleh para proter dan orang-orang yang berpenampilan seperti preman. Akhirnya setelah berhasil menyebarkan sebanyak 200 box, sekitar 10 menit menjelang azan Maghrib koordinator kami dengan rembukan bersama tim membuat keputusan untuk berpindah lokasi ke sekitar Sarinah. Kami terpaksa  berpindah karena lokasi yang tidak lagi kondusif.

Keputusan mendadak itu membuat anggota tim berpencar dengan terpisah kendaraan menuju lokasi. Ada aksi nekat dan berani juga saat koordinator kami memutuskan untuk turun dari mobil di salah satu lokasi yang kebetulan macet. Beberapa dari kami pun turun membagikan beberapa box, sedangkan mobil meninggalkan kami langsung melaju ke Sarinah. Waktu yang sempit, anggota yang terpencar di beberapa lokasi dan jumlah snack box yang lebih banyak dari biasanya membuat kami bertugas hingga hampir mendekati waktu Isya.

Sebenarnya, apa yang membuat kami mau bersusah payah seperti itu?

Teman-teman Ma’idaturrahman seringkali masih harus lanjut itikaf di masjid selesai shalat tarawih. Ada juga yang masih harus rapat hingga larut malam untuk beberapa kegiatan Ramadhan lainnya.

Aku sendiri lebih memilih langsung pulang ke rumah. Jauhnya rumah dan minimnya waktu istirahat untuk kembali beraktivitas keesokan harinya, membuatku  tidak bisa rutin membantu teman-teman.

Pernah kami membahasnya dalam sebuah percakapan ringan, jika bukan karena Allah tentu kami enggan menguras waktu dan tenaga seperti itu.

Dan hikmah yang termanis adalah tentang persahabatan.

Melalui Ma’idaturrahman aku mendapatkan banyak teman baru. Ikatan kami disatukan dari kebersamaan dan kerja sama selama di lokasi. Selama berbulan-bulan aku mengaji di Ar-Rahman Quranic Learning Center (AQL), tapi begitu bergabung di Ma’idaturrahman aku baru benar-benar mengenal mereka dengan berbagai karakternya yang menarik.

Ada Mba A’an sebagai koordinator tim Jakarta Pusat, karakternya yang supel dan ceria membuatku betah dan terkadang lupa waktu untuk pulang (imbasnya aku sudah beberapa kali ketinggalan kereta malam). Ryan dan Ucok yang biasa tiba di lokasi lebih awal dengan membawa ratusan box tajil. Kiki yang menyemangati kami dengan bungkusan air mineral botol dan combronya. Mas Kuwat yang berani turun ke tengah jalan, hingga kadang terkocar-kacir dikejar kendaraan yang terburu-buru melaju saat lampu sudah hijau. Mas Addy dan Ario yang di sisa waktu mereka yang sibuk dan tubuh lelahnya masih rela turun membantu tim. Mba Yanti yang menurut cerita juga suka lupa waktu kalau sudah bersama teman-teman. Mba Dewi yang baru sempat membantu di seminggu terakhir namun semangat tempurnya tidak diragukan lagi. Mba Sri dan Mba Faiz yang sangat gigih membantu tim hampir setiap hari. Ada juga adik perempuannya Ryan yang masih remaja tapi semangatnya luar biasa.


Itulah cerita Ramadhanku. Ma’idaturrahman, merupakan sebuah pengalaman baru yang membuat ibadah Ramadhan semakin terasa lebih berarti.

Kalau hidup hanya sekedar hidup dan kerja hanya sekedar bekerja, mungkin kami tidak akan mau bersusah payah untuk mengenyangkan lapar dan dahaga orang-orang di jalan. Tapi kami memilih jalan yang berbeda, kami tidak mau seperti babi hutan yang hidup dengan merusak tanaman orang, dan tidak mau seperti kera yang bekerja hanya untuk mengenyangkan perut sendiri.

Kami mau menjalankan hidup dan bekerja karena Allah, mengharapkan rewards langsung dari Allah.

Semoga Ma’idaturrahman terus berlanjut pada Ramadhan di tahun-tahun berikutnya dan semakin banyak pemuda-pemudi muslim yang ikut berpartisipasi. Melalui kegiatan ini, mari kita perlihatkan bahwa Islam itu indah dan muslim adalah pribadi yang peduli kepada sesama.

2 comments:

  1. salam kenal, mba.
    sy dari tim Ma'idaturrahman AQL wilayah Jaktim :)

    ReplyDelete
  2. Salam kenal juga mba.. Mba putri ya?

    Saya jg baca tulisannya di wordpress mba putri. Izin share ke milis yah, mas tulus lagi kumpulin tulisan2 kita untuk bikin buku :)

    ReplyDelete