Wednesday, October 5, 2011

Perjalanan Menuju Tempat yang Tertinggi


Aku percaya, maka aku akan melihat keajaiban
Iman adalah mata yang terbuka, mendahului datangnya cahaya
-Salim A. Fillah-


“Usia Anda berapa mba?”, tanya salah seorang kepala bidang pada masa orientasi kerja.

“Dua puluh lima”, jawabku, waktu itu masih di pertengahan tahun 2010.

“Sudah menikah?”

“Belum..”

“Sudah punya pacar?”

“Saya gak pacaran pak, insya Allah”

“Kenapa? Pernah sakit hati?”

Sambil tersenyum kujawab, “insya Allah, bukan karena itu pak”

“Belum pernah sama sekali?”

“Dulu pernah, tapi semenjak berhijab saya gak pacaran lagi”.

---***---

Beberapa minggu lalu seorang teman menyampaikan, “Hmm.. tentang tulisan metha yang ini, aku gak nyangka metha berprinsip begitu, karena yang aku lihat metha bukan akhwat berjilbab panjang”.

Aku hanya bisa tersenyum mendengar komentarnya setelah dia membaca artikel “Cinta Kusujudkan di Mihrab Taat”. Iya, dia memang benar. Kerudungku tidak lebar dan panjang, hanya tetap kujulurkan menutup dada. Aku hanya perempuan biasa yang baru berkerudung dalam dua tahun terakhir, perempuan biasa yang baru belajar memperdalam ilmu agama.

Percakapan di atas hanya sedikit dari yang telah kulakoni dalam dua tahun terakhir. Terutama tentang keputusan berhijab dan tidak berpacaran. Mungkin untuk kebanyakan orang dua hal itu masih berat untuk dijalankan. Apalagi di Indonesia hijab seperti bukan dipandang sebagai kewajiban, melainkan sebuah budaya keagamaan. Itu pun tidak semua perempuan muslim mau menjalankan karena merasa belum siap. Apalagi mendengar prinsip tentang tidak mau berpacaran, seringkali orang mengerutkan kening saat aku mengatakannya. Dan itu wajar, karena dulu juga butuh pergolakan cukup lama untuk bisa menerapkannya pada diri sendiri.

Yang sedang kuceritakan sekarang ini adalah tentang proses perjalanan hidup.

Mengenai perjalanan hidup, aku merasakan begitu luasnya bentuk kasih sayang Allah Swt. Dia mengajarkan cara untuk bangkit, setelah sebelumnya memberi berbagai ujian dalam tingkat kekuatan yang Dia Maha Tahu tentang batasan dimana aku masih sanggup.

Sering orang mengaitkannya dengan pengalaman sakit hati. Iya, itu juga pernah. Dan pengalaman itu justru menjadi bagian dari perjalanan yang membawa pada Allah. Bukan bermaksud membanggakan keburukan di masa lalu, tapi karena aku merasa sangat bersyukur. Karena dalam semua kehinaanku, Allah masih memanggil.

Hari itu, di dalam sebuah pesawat.

Laki-laki itu menyodorkan dua buah bingkisan. Satu diletakkan di tangan kanannya dan satu di tangan kiri. Dia memintaku memilih: mau sekotak coklat atau bungkusan merah berbentuk hati?

Tanganku mengambil bungkusan merah berbentuk hati, dan mataku terus terfokus menatapnya. Aku lupa sebelumnya laki-laki itu duduk dimana, yang aku ingat dia kemudian pindah ke kursi belakang, duduk dengan wanita lain.

Lalu bungkusan itu kubuka, dan dalam sekejab berubah menjadi sejadah.

Kuperhatikan sekeliling, pesawat itu sepi dan hanya berisi beberapa orang yang kukenal. Aku duduk sendirian pada barisanku, dan mereka juga duduk pada barisannya masing-masing.

Pesawat itu terus terbang, tinggi dan semakin tinggi menembus awan. Kami terus terbang menuju langit yang entah dimana ujungnya.

Dan aku pun terbangun...

Sampai kini mimpi itu belum bisa kulupakan. Mimpi penutup dari rangkaian mimpi yang terjadi dalam semalam. Detail mimpinya tidak perlu kuceritakan, karena intinya adalah aku sedang mengurai hikmah.

Orang boleh bergunjing tentang masa laluku, orang boleh berpraduga tentang berbagai hal yang aku terapkan. Allah Yang Maha Tahu, dan biarlah Allah menyimpannya dengan rapat.

Yang aku yakini, kini aku sedang berjalan menuju takdir Allah yang terdekat, yaitu kematian. Aku memberanikan diri untuk berkerudung, mulai membatasi diri dari lawan jenis yang bukan mahram atau belum menjadi suami/ keluarga, aku belajar untuk menjadi pribadi yang lebih sabar, belajar untuk lebih mengasihi keluarga dan orang-orang di sekitar, belajar untuk terus tersenyum dan melakukan segala sesuatu karena Allah. Setiap hari belajar untuk menjadi orang yang lebih baik, dan sekarang aku merasa masih sangat jauh dari cukup.

Karena saat ini aku sedang berada dalam pesawat yang membawaku pada Allah. Pesawat yang membawaku pada tempat tertinggi yang hanya diketahui oleh Allah dimana ujungnya.

Tidakkah kamu juga merasa bahwa dalam perjalananmu saat ini, Allah sedang memanggil?

Setelah sholat maghrib kutemukan rangkaian ayat:

“Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras menuju Tuhan-Mu, maka kamu akan menemui-Nya”.
(Q.S Al-Insyiqaq, 84:6)

Air mataku menetes membaca terjemah kitab suci Al-Qur’an. Kalimat di footnote menafsirkan: “manusia di dunia ini baik disadari atau tidak adalah dalam perjalanan kepada Tuhannya. Dan pasti dia akan menemui Tuhannya untuk menerima pembalasan perbuatan baik atau buruk”.

Subhannallah.. Allah memberiku petunjuk melalui mimpi yang bermakna indah, dan Dia menuntunku menemukan rangkaian ayat-Nya sebagai penjelasan.

Dan di akhir perbincangan, Al-Qur’an berkata:

“Sungguh, akan kamu jalani tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)”
(Q.S Al-Insyiqaq, 84:19)

Tulisan ini sebagai penjelasan dari serangkaian perubahan yang kulakukan. Bukan karena satu pengalaman tertentu, tapi karena serangkaian hikmah yang berujung pada kesimpulan bahwa hidup adalah sebuah perjalanan bertingkat menuju tempat yang tertinggi, a journey to the highest place.