Monday, April 9, 2012

Bahagia itu Sederhana


“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang berakal”
(Q.S Al-Baqarah, 2:269)


Hari ini, Allah membangunkanku beberapa waktu sebelum azan subuh berkumandang. Walau harus bersusah payah menahan kantuk, aku berjuang membuka mata, tidak mau lagi melewatkan sekian banyak panggilan yang Allah anugerahkan. Heningnya suasana dan dinginnya udara pagi menemani manusia beribadah sebelum matahari menampakkan wajah.  Terima kasih Allah, panggilanmu untuk bermunajat adalah berkah.

Lalu kumulai aktivitas pagi. Seperti biasa selalu terburu-buru mengejar commuter line. Bila dulu penumpang kereta sangat dimudahkan dengan adanya kereta express, sistem commuter line banyak menyusahkan penumpang. Hampir semua kereta yang lewat penuh sesak, dan terlihat tatapan kecewa para penumpang yang tidak bisa tertampung ke dalam gerbong kereta.

“Yah.. mama gak bisa masuk de”, kata seorang wanita di sampingku pada balita laki-laki yang duduk di pangkuan suaminya. Lalu sambil menunggu kereta berikutnya lewat mereka duduk sambil bersenda gurau menggoda anaknya yang lucu. Dan kereta berikutnya pun lewat, aku dan si ibu tadi terpaksa menjejalkan diri ke dalam gerbong kereta yang sudah penuh sesak dengan penumpang, karena kalau tidak begitu mau jam berapa lagi sampai ke kantor? “Dah mama.. ayo dadah ke mama de”, kata si ayah pada si lucu yang ada di gendongannya, sambil menatap istrinya yang sibuk menahan tubuh di pintu kereta. “Dah ade..”, sahut si ibu sambil melambaikan tangan selagi pintu gerbong mulai menutup. Aneh, walaupun kondisi sedang tidak kondusif aku bisa tersenyum bahagia hanya dengan melihat tingkah mereka.

Selagi kereta terus berjalan, sinar matahari pagi menembus kaca pintu kereta. Hangatnya seperti menari menerpa wajah, menggodaku yang sedang meringis menahan tubuh yang terdorong-dorong penumpang lain. Baiklah.. Aku paham, terima kasih Allah untuk sinar mentari-Mu yang indah. Kau pasti tahu, aku juga sangat mencintai-Mu.

***
Rabu, 21 Maret 2012

Ustad Amir Faisol menutup tausiyahnya dengan memberikan dua belas kalimat motivasi. Salah satunya yang paling kuingat adalah:

 “Jangan menunggu bahagia baru tersenyum, tapi tersenyumlah maka kamu akan bahagia

Jadi teringat kakak perempuan mama yang dua minggu lalu kami kunjungi. Rumahnya jauh di daerah Parung dan aksesnya juga sulit. Sempat jadi pergunjingan dalam keluarga sewaktu dulu dia memutuskan menjual rumah lamanya dan pindah kesana, sisa uang hasil penjualan digunakan untuk membiayai perjalanan hajinya bersama suami. Ya Rab, sedemikian rindunya mereka pada tanah suci.

Setahun sekali kami biasanya kumpul disana setelah idul fitri. Tapi tahun ini keluarga kami berkumpul kesana lebih sering, karena beliau terserang stroke dan baru-baru ini entah dari mana mulanya salah satu kakinya juga patah.

Dengan membawa tongkat beliau keluar dari kamarnya dan menyambut kami dengan senyumannya yang khas. Tak ada lagi tubuh besar yang semasa kecil aku jadikan candaan saat dia menggodaku. Tubuhnya kini kurus dan terlihat sangat lemah, tapi aku tidak melihat ada raut penyesalan di wajahnya. Sama seperti saat kami datang bersilaturrahmi idul fitri, setiap keluarga datang mengunjungi dia selalu memerintahkan anak-anaknya menyuguhkan hidangan makan siang. Keadaannya yang sulit tidak menghalangi niatnya untuk memuliakan tamu yang datang ke rumah.

Setelah azan ashar berkumandang, dia sholat tepat waktu sambil duduk di sudut ruang tengah. Aku yang melihatnya merasa malu dengan diriku sendiri. Beliau yang fisiknya sedang sakit dan banyak kekurangan, masih bisa tersenyum dan menampakkan syukur pada Allah dengan sholat tepat waktu.

Dalam rasa syukur

Aisyah ra. mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw mendirikan ibadah (shalat) pada malam hari hingga pecah-pecah kulit kakinya. Lalu Aisyah mengatakan pada Beliau, “Mengapa tuan banyak beribadah begini ya Rasulullah, sedangkan Allah telah mengampuni tuan terhadap dosa-dosa tuan yang telah lalu dan yang akan datang”. Nabi Saw menjawab, “Bukankah aku senang jika aku menjadi hamba (manusia) yang mengucapkan terima kasih kepada Allah?” (HR. Bukhari – Muslim)

Kalau harus menunggu bahagia dulu untuk bersyukur pada Allah, berarti aku telah kufur pada nikmat Allah. Begitu banyak nikmat Allah di sekelilingku, tapi seperti tertutupi hanya karena ada satu atau dua keinginan yang belum juga terpenuhi. Sungguh, aku merasa sangat tidak adil pada Allah.

Tersenyum itu mudah, bahkan bisa dilakukan walau tanpa alasan. Tapi aku belajar untuk banyak tersenyum dengan ikhlas hanya karena Allah. Meskipun suasana hati sedang tidak bahagia, paling tidak bisa menenangkan orang yang melihat. Karena itu kulepaskan senyum dan membiarkan orang lain tahu bahwa aku tidak terpengaruh dengan keadaan.

Terima kasih Allah untuk segala hikmah yang selalu Kau buka dalam setiap fase kehidupan yang kujalani.

Terima kasih, karena telah mengajarkan aku untuk banyak tersenyum bahkan dalam keadaan sulit.

Izinkan aku untuk menarik hikmah, bahwa untuk merasakan bahagia adalah dengan menempatkan diri untuk selalu merasa cukup dan bersyukur. Agar lebih banyak lagi tersenyum, sebagai bentuk rasa syukur pada Allah dalam segala kondisi.

Bahwa bahagia itu sederhana.

1 comment: