Thursday, September 6, 2012

Tiga Hari Menjelang Hidup Baru



Dalam tiga hari ke depan, aku akan menjalani kehidupan yang baru.

Menikah, kata yang sakral dan beberapa waktu lalu setelah melewati berbagai kejadian juga sempat menjadi sesuatu yang menakutkan buatku. Takut jika aku salah memilih, takut dengan berbagai pikiran tentang seperti apa hidup yang akan dijalani nanti.

Dengan kalimat: 

"Bismillah.. Lahawla wa la quwwata illabillah. "

Hari ini kumantapkan hati dengan keyakinan pada rencana Allah. Jalan yang kami pilih melalui tata cara yang insya Allah baik, dan semoga hasilnya juga mendapatkan keberkahan berlimpah dari Allah.

Aamiin.


Note:
Setelah beberapa bulan menghilang, rasanya ini juga posting terakhir sebelum melepas masa lajang.

Can't wait to share another journey on this blog :)

Monday, April 9, 2012

Bahagia itu Sederhana


“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang berakal”
(Q.S Al-Baqarah, 2:269)


Hari ini, Allah membangunkanku beberapa waktu sebelum azan subuh berkumandang. Walau harus bersusah payah menahan kantuk, aku berjuang membuka mata, tidak mau lagi melewatkan sekian banyak panggilan yang Allah anugerahkan. Heningnya suasana dan dinginnya udara pagi menemani manusia beribadah sebelum matahari menampakkan wajah.  Terima kasih Allah, panggilanmu untuk bermunajat adalah berkah.

Lalu kumulai aktivitas pagi. Seperti biasa selalu terburu-buru mengejar commuter line. Bila dulu penumpang kereta sangat dimudahkan dengan adanya kereta express, sistem commuter line banyak menyusahkan penumpang. Hampir semua kereta yang lewat penuh sesak, dan terlihat tatapan kecewa para penumpang yang tidak bisa tertampung ke dalam gerbong kereta.

“Yah.. mama gak bisa masuk de”, kata seorang wanita di sampingku pada balita laki-laki yang duduk di pangkuan suaminya. Lalu sambil menunggu kereta berikutnya lewat mereka duduk sambil bersenda gurau menggoda anaknya yang lucu. Dan kereta berikutnya pun lewat, aku dan si ibu tadi terpaksa menjejalkan diri ke dalam gerbong kereta yang sudah penuh sesak dengan penumpang, karena kalau tidak begitu mau jam berapa lagi sampai ke kantor? “Dah mama.. ayo dadah ke mama de”, kata si ayah pada si lucu yang ada di gendongannya, sambil menatap istrinya yang sibuk menahan tubuh di pintu kereta. “Dah ade..”, sahut si ibu sambil melambaikan tangan selagi pintu gerbong mulai menutup. Aneh, walaupun kondisi sedang tidak kondusif aku bisa tersenyum bahagia hanya dengan melihat tingkah mereka.

Selagi kereta terus berjalan, sinar matahari pagi menembus kaca pintu kereta. Hangatnya seperti menari menerpa wajah, menggodaku yang sedang meringis menahan tubuh yang terdorong-dorong penumpang lain. Baiklah.. Aku paham, terima kasih Allah untuk sinar mentari-Mu yang indah. Kau pasti tahu, aku juga sangat mencintai-Mu.

***
Rabu, 21 Maret 2012

Ustad Amir Faisol menutup tausiyahnya dengan memberikan dua belas kalimat motivasi. Salah satunya yang paling kuingat adalah:

 “Jangan menunggu bahagia baru tersenyum, tapi tersenyumlah maka kamu akan bahagia

Jadi teringat kakak perempuan mama yang dua minggu lalu kami kunjungi. Rumahnya jauh di daerah Parung dan aksesnya juga sulit. Sempat jadi pergunjingan dalam keluarga sewaktu dulu dia memutuskan menjual rumah lamanya dan pindah kesana, sisa uang hasil penjualan digunakan untuk membiayai perjalanan hajinya bersama suami. Ya Rab, sedemikian rindunya mereka pada tanah suci.

Setahun sekali kami biasanya kumpul disana setelah idul fitri. Tapi tahun ini keluarga kami berkumpul kesana lebih sering, karena beliau terserang stroke dan baru-baru ini entah dari mana mulanya salah satu kakinya juga patah.

Dengan membawa tongkat beliau keluar dari kamarnya dan menyambut kami dengan senyumannya yang khas. Tak ada lagi tubuh besar yang semasa kecil aku jadikan candaan saat dia menggodaku. Tubuhnya kini kurus dan terlihat sangat lemah, tapi aku tidak melihat ada raut penyesalan di wajahnya. Sama seperti saat kami datang bersilaturrahmi idul fitri, setiap keluarga datang mengunjungi dia selalu memerintahkan anak-anaknya menyuguhkan hidangan makan siang. Keadaannya yang sulit tidak menghalangi niatnya untuk memuliakan tamu yang datang ke rumah.

Setelah azan ashar berkumandang, dia sholat tepat waktu sambil duduk di sudut ruang tengah. Aku yang melihatnya merasa malu dengan diriku sendiri. Beliau yang fisiknya sedang sakit dan banyak kekurangan, masih bisa tersenyum dan menampakkan syukur pada Allah dengan sholat tepat waktu.

Dalam rasa syukur

Aisyah ra. mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw mendirikan ibadah (shalat) pada malam hari hingga pecah-pecah kulit kakinya. Lalu Aisyah mengatakan pada Beliau, “Mengapa tuan banyak beribadah begini ya Rasulullah, sedangkan Allah telah mengampuni tuan terhadap dosa-dosa tuan yang telah lalu dan yang akan datang”. Nabi Saw menjawab, “Bukankah aku senang jika aku menjadi hamba (manusia) yang mengucapkan terima kasih kepada Allah?” (HR. Bukhari – Muslim)

Kalau harus menunggu bahagia dulu untuk bersyukur pada Allah, berarti aku telah kufur pada nikmat Allah. Begitu banyak nikmat Allah di sekelilingku, tapi seperti tertutupi hanya karena ada satu atau dua keinginan yang belum juga terpenuhi. Sungguh, aku merasa sangat tidak adil pada Allah.

Tersenyum itu mudah, bahkan bisa dilakukan walau tanpa alasan. Tapi aku belajar untuk banyak tersenyum dengan ikhlas hanya karena Allah. Meskipun suasana hati sedang tidak bahagia, paling tidak bisa menenangkan orang yang melihat. Karena itu kulepaskan senyum dan membiarkan orang lain tahu bahwa aku tidak terpengaruh dengan keadaan.

Terima kasih Allah untuk segala hikmah yang selalu Kau buka dalam setiap fase kehidupan yang kujalani.

Terima kasih, karena telah mengajarkan aku untuk banyak tersenyum bahkan dalam keadaan sulit.

Izinkan aku untuk menarik hikmah, bahwa untuk merasakan bahagia adalah dengan menempatkan diri untuk selalu merasa cukup dan bersyukur. Agar lebih banyak lagi tersenyum, sebagai bentuk rasa syukur pada Allah dalam segala kondisi.

Bahwa bahagia itu sederhana.

Monday, March 26, 2012

Senandung Suara Azan




Suatu sore pada sebuah vila di Bogor, aku berbincang singkat dengan seorang teman kantor yang banyak tahu tentang ilmu agama. Saat itu sedang turun hujan, dia yang duduk di sampingku mengatakan bahwa saat hujan adalah salah satu waktu yang baik untuk berdoa, karena saat itu Allah sedang menurunkan rahmat-Nya.

“Aku dengar waktu azan juga salah satu waktu yang baik untuk berdoa”, tambahku.

“Saat azan sebaiknya kita juga mengulangi kalimat per kalimat yang diserukan oleh muazin. Kecuali saat muazin mengucapkan hayya 'alash sholaah dan hayya 'alal falaah, ucapkan laa haula wala quwwata illa billah.

Ucapannya kuingat lekat-lekat. Jangankan mengulangi seruan muazin, selama ini malah sering mengabaikan azan. Seperti kebanyakan orang yang sibuk menonton TV atau terus mengobrol serius dengan teman saat para muazin melantunkan dengan merdunya panggilan sholat. Dan temanku itu juga benar, selain karena memang yang dia ucapkan itu mengutip pada salah satu hadits shahih Bukhari, tapi juga masuk akal karena dengan mengulangi seruan muazin berarti juga mendengarkan azan dengan lebih fokus.

Belakangan aku juga sadar, bahwa melalui azan Allah juga memberikan kekuatan.

Ketika Allah Memanggil

Senin pagi kemarin aku terbangun di sepertiga malam. Sayangnya sedang berhalangan sholat, dan udara yang sangat panas membuat mata sulit terpejam kembali. Akhirnya setelah keluar kamar dan mengambil minum, kubuka laptop dan menyibukkan diri dengan browsing internet. Saat itu aku sedang tidak bersemangat menulis karena jiwa sedang terasa kosong. Sudah lebih dari sebulan ternyata, tidak ada satu tulisan pun yang selesai karena sibuk dengan berbagai kegiatan dan juga masalah pribadi.

Akhirnya waktu dua jam kuhabiskan dengan menonton streaming dua episode drama Korea. Cukup menghibur, tapi rasanya telah membuang waktu yang seharusnya sangat baik untuk beribadah. Aku sangat butuh pertolongan Allah, dan saat itu sedang tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan.

Saat itu suara azan subuh mulai bergema bersahut-sahutan. Satu suara di hati mengatakan untuk terus menonton, dan satu suara lagi mengatakan “hentikan dulu, dengarkanlah Allah sedang memanggil”.

Kuheningkan pikiran, melepas headset dan pindah duduk di sudut lantai tempat biasa aku sholat.

Allahu Akbar.. Allahu Akbar
Allah Yang Maha Besar

Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah
Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah

Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah
Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad Saw adalah utusan Allah

Terus kuikuti kalimat per kalimat sampai pada Hayya 'Alal Falaah… Marilah meraih kemenangan. Kujawab dengan Laa haula wala quwwata illa billah, tiada daya upaya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.

Seketika itu juga air mataku menetes, ini adalah jawaban atas semua ketidaktenanganku. Jangan menyerah pada keadaan, Allah telah mengajak meraih kemenangan. Bibirku bergerak menggumamkan sendiri jawaban untuk seruan Allah, semua tidak akan terjadi tanpa pertolongan Allah.

Terima kasih Allah, untuk senandung panggilan-Mu yang indah.

Setelah muazin menutup azan kuucapkan: Laillahaillallah, Tiada Tuhan Selain Allah. 

Saturday, February 11, 2012

Perhiasan Teristimewa



Dont Tell Us How to Dress, Tell Them Dont2 Rape”
(Jangan ajari kami cara berbusana, ajari mereka jangan memperkosa)


Kalimat itu terpampang jelas pada salah satu poster yang diusung para pendemo wanita di Bundaran HI. Kala itu, mereka memprotes komentar salah seorang pejabat tentang keterkaitan antara meningkatnya kasus perkosaan dengan para wanita yang suka memakai rok mini.

Lebih gamblangnya, mereka juga menyuarakan “Bukan Otak Kami yang Salah, Tapi Otak Kalian yang Mini”, “Kendalikan Nafsumu, Bukan Kendalikan Rokmu”.

Tapi yang terpikir dalam otak saya justru:
“Bagaimanakah para lelaki harus sibuk mengendalikan hawa nafsu mereka di kala para wanita justru menyodorkan tampilan yang memancing hawa nafsu itu sendiri?“

Ibaratnya bila melihat kucing di rumah yang sedang kenyang sekalipun, lalu di depannya ada sarden kesukaannya yang dia sudah terbiasa tahu bahwa rasanya enak, bagaimana cara dia mengendalikan naluri alamiahnya? Setidaknya dia bisa hanya memandang sambil terus berimajinasi.

Wanita dipuji karena penampilan, dipuji karena pesona, dipuji karena setiap gerak gerik yang dia lakukan adalah pusat perhatian bagi yang memandang. Wanita adalah target utama dari industri yang memanjakan hasrat kecantikan. Rambut yang terawat dengan indah, kulit yang mulus dan cantik, ditambah lagi dengan memakai berbagai model pakaian masa kini yang semakin banyak menonjolkan kecantikan wanita, meskipun pakaian itu terbilang minim.

Wanita bisa mengendalikan penampilan, bisa memilih sendiri pakaian jenis apa yang ingin dikenakan agar bisa merasa nyaman dan terlihat menarik. Tapi tetap, tidak bisa mengendalikan pikiran orang lain.

Dan kenyataannya kini memang terjadi fenomena menakutkan di masyarakat. Perkosaan di angkutan umum, pembuhuhan karena perkosaan, dan ada berapa banyak pernikahan yang terjadi akibat “kecelakaan” sebelum menikah. Ironisnya lagi, ada berapa banyak bayi di dunia yang harus terlahir lalu dibuang dan terabaikan dikarenakan banyak laki-laki yang tidak mampu menahan gejolak syahwat saat bersama pacarnya.


Kalau sudah begini, jadi letak kesalahannya ada dimana?

***

Wanita itu seperti perhiasan. Orang bisa tahu dan ikut menikmati keindahannya walau hanya dengan memandangnya saja.

Allah Swt menciptakan wanita dengan keindahannya, dan Dia Maha Tahu bahwa keindahan tersebut harus dilindungi dan hanya dinikmati oleh orang yang berhak.

“Katakanlah kepada perempuan yang beriman:
Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS.An-Nuur, 24:31)

“Hai Nabi katakanlah kepada Istri-istrimu, anak-anakmu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang  demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah  Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab, 33:59)

Bukan seorang pejabat yang mengajari wanita untuk tidak lagi memakai rok mini atau busana dengan potongan minim lainnya agar dirinya tidak lagi diganggu. Tapi Allah Swt, Sang Pencipta dan Pemilik segala makhluk, Dia yang telah mengajari kita, para wanita, tentang bagaimanakah harus berpakaian.

Para wanita muslim mungkin sudah tahu isi ayat tersebut, tapi memilih untuk mengabaikan dengan berbagai dalih. Lagipula selagi bisa terlihat mempesona dengan tampilan lekuk tubuh, kulit dan rambut indah yang sudah dirawat dengan susah payah dan biaya mahal, mengapa harus dilepas dan merelakan diri untuk tampil dengan pakaian tertutup?

Ketika mata, hati, telinga telah tertutup dengan keegoisan diri, maka kalimat perintah dari Allah pun dikesampingkan.

Mutiara yang Sholehah

“Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang sholehah”
(HR. Muslim)

Rabu, 8 Februari 2012.

Ust. Amir Faisol memberikan analogi tentang iman manusia. Dia mengatakan manusia kini lebih beriman pada sesama manusia.

Contohnya, saat sedang sakit manusia akan menuruti semua perkataan dokter tentang obat yang harus diminum, pantangan makanan apa saja yang harus dilakukan, sampai pada anjuran untuk mengamputasi kaki pun dia akan turuti selama anjuran itu diberikan oleh dokter, orang yang dia percaya sebagai ahlinya. Berapapun biaya yang harus dikeluarkan hingga hartanya terkuras, dia akan tetap menurut. Karena yang memberikan perintah dan anjuran adalah seorang dokter.

Lalu bagaimanakah dengan Allah?

Kepada Dia yang telah memberikan air, udara, bumi sebagai tempat hidup dan berpijak, menjadikan siang yang terang untuk manusia beraktivitas, mendatangkan malam agar kita bisa beristirahat dengan nyaman. Kepada Dia Yang Maha Pengasih, yang telah memberikan itu semua tanpa pajak. Kepada Dia, justru memilih untuk bertindak durhaka dengan mengabaikan ajaran-Nya.

Dan karena itu, perlu untuk dipertanyakan lagi alasan dibalik pengakuan diri sebagai penganut Islam:
1)      Karena agama warisan turun-temurun dalam keluarga;
2)      Karena perintah;
3)  Karena yakin dengan pesan Allah dalam Al-Qur’an dan yang telah disampaikan-Nya melalui Rasulullah Saw.

Jika mengaku beragama tertentu karena hanya mengikuti kebiasaan turun temurun dalam keluarga, maka dia adalah pengadut tradisi. Dan apabila hanya karena perintah manusia lain, maka imannya ada kepada si pemberi perintah.

Penganut Islam adalah orang-orang yang meyakini Allah Swt adalah Tuhan Yang Maha Esa dan mengakui Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya.

Pun dia telah merasa dirinya berislam karena syahadatnya,

Bagaimana merasa diri sebagai hamba Allah, tapi tidak mengimani Isi Kitab Suci Al-Qur’an? Kitab yang isinya datang langsung dari Allah Swt, dan insya Allah terpelihara dengan sempurna sampai akhir zaman.

Bagaimana merasa diri telah mengimani dan meyakini Kitab Suci Al-Qur’an, tapi menjalankan isi ajaran yang terkandung di dalamnya dengan setengah hati?

Bukalah mata, hati, telinga.

Laksanakan perintah Allah yang disampaikan melalui Al-Qur’an dan juga telah disampaikan melalui perantara Rasul-Nya, sebagai bukti pengabdian tulusmu sebagai hamba yang beriman.

Rasulullah Saw, pribadi terkasih yang dirinya adalah cerminan dari Al-Qur’an menyampaikan dalam salah satu hadits:

“Dari Abu Hurairah RA, katanya Rasulullah Saw bersabda: Ada dua macam penduduk neraka yang keduanya belum kelihatan olehku. 1) Kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang dipergunakannya untuk memukul orang, 2) Wanita-wanita berpakaian, tetapi sama juga dengan bertelanjang karena pakaiannya terlalu minim, terlalu tipis atau tembus pandang, terlalu ketat atau pakaian yang merangsang pria karena sebagian auratnya terbuka, dan wanita-wanita yang mudah dirayu atau suka merayu, rambut mereka (disasak) bagaikan punuk unta, wanita-wanita tersebut tidak dapat masuk surga, bahkan tidak dapat mencium bau surga, padahal bau surga dapat tercium dari jarak yang sangat jauh.” (HR. Muslim)

Na’udzubillahimindzalik…

Saudariku,

Tutuplah auratmu, karena Allah yang telah memintamu demikian.

Ingatlah, cara kita berpakaian adalah cara untuk menunjukkan pada orang lain tentang bagaimana kita ingin dihormati dan bagaimana ingin diperlakukan.

Jadilah seperti mutiara.

Perhiasan yang walaupun tertutup dalam cangkang, orang tetap bisa menilai seberapa mahal kecantikan yang ada di dalamnya.

Kenakan hijab, maka perilakumu akan menyesuaikan dengan hijab yang dikenakan. Paling tidak dengan berhijab menunjukkan bahwa kita memiliki banyak rasa malu, malu untuk memperlihatkan aurat, malu untuk melakukan perbuatan tercela yang menodai keimanan.

Mari kita belajar mempercantik diri dengan cerminan yang sholehah, seperti layaknya perhiasan teristimewa.

Sunday, January 22, 2012

Someone That I Can Trust



Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”

(Q.S Al-Furqan, 25:74)


“Punya planning apa tahun ini”, tanya seorang sahabat
“Menikah, hehehe.. lagi-lagi”
“Sedang berproses atau gimana?” lanjutnya bertanya
“Belum”
“Sama aku juga, kayaknya perlu waktu untuk cari sebenarnya mau yang kayak apa.”

***

Aku setuju dengan pernyataan dari sahabat di atas. Saat ini aku ingin menikah, tapi juga perlu waktu untuk mencari tahu apa yang aku mau.

Ini mungkin juga menjadi dilema yang dialami banyak orang. Kesendirian bukan berarti tidak mempunyai pilihan, hanya saja bingung dengan pilihan yang ada. Mengapa dari banyak pilihan belum ada yang membuat hati menjadi yakin untuk maju.

Hanya saja aku hidup dalam budaya timur, dimana wanita berusia di atas 25 tahun yang belum menikah seringkali mendapatkan banyak tekanan. Entah itu dari keluarga, atau sadar tidak sadar seringkali kita sendiri selaku teman bisa memberikan pertanyaan yang tidak sengaja membuat yang ditanya merasa terpojok, seperti: “Kapan nih kamu kirim undangan?”

Sekali dua kali masih bisa mentolerir, tapi karena seiring dengan bertambah tuanya usia jumlah penanya beserta intensitasnya semakin bertambah, lama kelamaan hati menjadi jengah. Kalau sudah begini mulai muncul perenungan, “apakah harus menikah karena terdesak usia, walaupun harus dengan orang yang tidak kita suka?”

Hal pertama yang terpikir dari pertanyaan tersebut adalah bahwa aku takut. Takut menjalani sisa hidup dengan orang yang salah, takut suatu hari aku akan menyesal. Tapi sungguh aku sangat ingin menikah, ingin menyempurnakan separuh agama dan memiliki sebuah keluarga yang dirahmati Allah Swt.

Akhirnya selama beberapa hari terakhir ini aku menyibukkan pikiran dengan berbagai prolog. Tentang semua doa-doa yang kupanjatkan pada Sang Maha Pengabul Doa, tentang ketidaksabaran orang tua, tentang keikhlasanku untuk bersabar selagi terus berusaha memperbaiki diri, dan tentang apakah aku harus menyerah dan berdamai dengan keinginan diri?

Kutelaah kutipan dari salah satu ayat Al-Qur’an:
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula), ...” (Q.S An-Nuur, 24:26)

Ayat ini sudah kubaca berulang kali, bahwa Allah Yang Maha Adil mengatur sedemikian rupa agar manusia mendapatkan jodohnya yang sekufu, sesuai dengan derajat kebaikan/ keimanan. Yang harus dilakukan adalah meneguhkan iman, bahwa janji Allah itu benar, dan pasti akan tiba saatnya untuk menjadi indah pada waktu yang Dia telah tentukan.

Usia bukanlah alasan utama, yang diperlukan keyakinan bahwa dia adalah orang yang tepat. Dan yang tepat itu yang harus didefinisikan.

Pria baik, dengan pemahaman agama yang baik. Akan lebih baik bila disertai dengan akhlak yang baik. Karena yang kelak akan dihadapi adalah perilakunya, bukan hanya melayani kepintaran ilmu.

Lalu pria baik, yang pemahaman dan pengamalan agama baik, tapi dalam hal lain kurang sesuai dengan hati. Dengan yang ini aku takut akan banyak melakukan kedzaliman, terutama dengan kurangnya rasa syukur. Belum lagi masih harus juga mempertimbangkan kesesuaian pilihan dengan keinginan orang tua.

Dan yang terakhir adalah bila aku menemukan pria yang sedang belajar untuk menjadi baik, dan dalam kriteria lainnya tidak ada kekurangan. Perlu ketelitian lebih untuk mencari tahu dan menilai, apakah dia bisa menjadi imam yang istiqomah. Karena bagaimana pun juga, agama tetap menjadi pegangan utama. Aku tidak mau bila nanti Allah mengkaruniai kami keturunan, kami tidak bisa mendidiknya dengan amanah. Karena tujuan utamaku menikah adalah kelak ingin bisa menjadi keluarga yang Allah kumpulkan lagi dalam jannah.

Bingung dengan keinginanku sendiri, apakah memang terlalu tinggi?

“Bukan”, jawab sahabatku dalam sebuah perbincangan pagi. Karena untuk menikah harus diniatkan hanya sekali dalam seumur hidup, dan untuk itu kita harus percaya benar dengan sosok yang dipilih.

Itu dia, rasa “Percaya”. Hal inilah yang masih belum kutemukan hingga kini. Semua kriteria yang aku selalu sebutkan dalam doa, semua penilaian yang aku lakukan adalah untuk menemukan sosok yang benar-benar bisa aku percaya.

Aku ternyata tidak terlalu peduli dengan berbagai latar belakang masa lalunya, malah sebenarnya jarang menanyakan terlalu detail. Yang benar-benar ingin aku ketahui adalah:

Apakah dia di masa depan bisa menjadi pribadi yang aku percaya?

Percaya bahwa dia bisa menjadi orang yang jujur dan setia,
Percaya bahwa keluargaku juga memilihnya,
Percaya bahwa dia mampu melindungi dan membuatku merasa tenteram bersamanya,
Percaya bahwa dia segenap tenaga akan berusaha membahagiakan dan membuat keluarga kami berkecukupan (cukup, bukan berarti mewah),
Percaya bahwa kami bisa membangun dan mewujudkan impian kami bersama,
Percaya bahwa bersamanya kami bisa mendidik keluarga yang dicintai Allah,
Percaya bahwa dia adalah imam yang dapat membimbing kami sekeluarga untuk meraih surga.

Percaya, bahwa dia juga memiliki sesuatu keyakinan yang mampu menjaganya dari dalam dirinya sendiri, ketika segala hal di sekeliling kami berjatuhan.

Maka, bila suatu waktu muncul lagi pertanyaan:

“Sebenarnya orang seperti apa yang kamu tunggu?”

Insya Allah akan kujawab dengan satu kalimat sederhana:

“Orang yang bisa aku percaya.”