Sunday, January 30, 2011

Gairah Baru


Punya berat badan 48 kg dgn tinggi 162 cm? Yes, I'm feeling so skinny. Biarpun rasanya nyaman di hampir semua jenis baju, tapi akhir-akhir ini aku merasa harus lebih berisi lagi, kebalikan dari banyak wanita yang berjuang diet untuk menurunkan berat badan. Gak perlu terlalu banyak, cukup 2 kg, aku mau terlihat lebih segar.


Cuma sayangnya keinginanku untuk meningkatkan porsi makan ga didukung dengan kondisi di rumah. Mama beberapa hari ini sedang malas masak. Puncaknya malam ini, seharian aku beraktivitas di luar rumah dan belum sempat "makan besar". Berharap sampai rumah akan tersedia banyak makanan berhubung ini adalah hari minggu. Sayangnya perkiraanku salah, begitu aku sampai rumah mama juga baru pulang dari bepergian dan dia tidak menyediakan makan malam karena terlalu lelah.

Putar otak.. Putar otak.. Putar otak.. Akhirnya aku putuskan masak untuk dimakan sendiri. Ga peduli bagaimana rasanya, yang penting aku bisa makan. Sayangnya lagi di kulkas juga cuma tersedia sosis ayam, dan di meja makan ada kerupuk. Fiuh.. Aku gak terlalu suka sosis ayam. Tapi ya sudahlah, dengan adanya dua lauk tersebut aku putuskan membuat nasi goreng sosis ayam. Aku sudah lama sekali absen memasak, pasrah.. mungkin nanti akan ada error taste.

Mulai meramaikan dapur... karena nasi yang tersisa di rice cooker hanya setengah porsi, jadi bumbu-bumbunya pun aku kurangi sekenanya. Dua butir bawang merah, 1 cabe rawit merah, 2 cabe merah, 1/2 potong terasi, dan sedikit taburan garam, semua aku ulek kasar. Satu sosis ayam kuiris tipis agar nanti terlihat banyak.  Biasanya aku sangat patuh pada resep, karena terlalu patuh makanya aku tergantung pada buku resep. Well.. Tapi yang ini asli asal campur, cuma ikuti perasaan.

Sosis ayam sengaja kugoreng lebih dulu biar nanti jadi sangat matang dan menyamarkan rasa yang kurang aku sukai. Dan begitu matang minyaknya aku kurangi sampai tersisa 1/2 takaran porsi minyak yang  biasa untuk menumis, biar nasi gorengnya kering dan ga terlihat terlalu "basah". Bumbu dasar lalu ditumis bersama dengan sosis goreng, agar bumbunya juga meresap ke dalam sosis. Lalu didiamkan sampai harum (#cenderung bau agak gosong sih, biar bawangnya juga matang. Forgot to say.. I also hate onion). Setelah itu nasi aku campurkan dan di detik terakhir kutambahkan sedikit kecap manis.

Dan.. Jadilah si nasi goreng sosis ayam ala chef metha. Disajikan bersama kerupuk, jadi terlihat lebih "bergizi". Resep asal dari koki asal, tapi rasanya... Alhamdulillah, ternyata gak asal. Thanks Allah, it's tasted good! Really good malah, karena sejak awal aku memang gak berekspektasi lebih.

Mudah-mudahan ini menjadi awal kebangkitan gairah memasak. Amin ;)

Finally I cooked

Friday, January 28, 2011

Di Persimpangan


Perasaan hari ini gak karuan. Ada rasa bersalah sehabis membahas tentang pekerjaan dengan teman-teman. Rasa bersalah karena aku sadar telah melupakan satu unsur penting dalam iman: bersyukur.

Harusnya aku banyak bersyukur. Allah telah menggiringku sedemikian rupa sehingga bisa mendapatkan pekerjaan ini. Pekerjaan dimana ribuan orang dari penjuru negeri berbondong-bondong mengikuti tes demi memperebutkan posisi yang kuotanya hanya sedikit. Aku termasuk salah satunya, tahun 2009 kemarin hampir semua tes aku ikuti demi mewujudkan impianku bekerja sebagai abdi negara. Terdengar berat mungkin, tapi memang itulah tujuanku dulu.

Flash back beberapa tahun lalu..

 Bekerja di sebuah branded entertainment atau yang lebih awam dikenal orang sebagai event organizer (walaupun keduanya punya definisi yang berbeda). Yang aku pikirkan dulu hanya bagaimana membuat nyaman diri sendiri, tak peduli harus pulang larut malam dan sering harus sampai menginap di kantor. Tertawa geli mengenang dulu kami pernah meeting internal jam 3 pagi, yang isinya kumpulan orang dengan muka sangar karena sudah terlalu lama menahan lelah dan di otak berkecamuk banyak hal tentang “kesempurnaan” jalannya pekerjaan.

Di dunia yang banyak menuntut kesempurnaan itu aku merasa banyak berkembang. Prestasi, kebebasan berekspresi, kesenangan duniawi, dan pengakuan orang-orang. Teman-teman memandang iri cara kami bekerja, jam kantor yang tidak mengikat dan pakaian yang sangat kasual. Dari segi penghasilan mungkin gak sebesar pegawai kantor pada umumnya, tapi kami bekerja di bidang yang kami senangi.. Sementara orang-orang harus mengantri dan merogoh kocek dalam-dalam untuk menonton konser musik, kami bisa dengan bebas berseliweran disana, hanya saja di celana jeans kami terselip HT yang gak hentinya berbunyi sebagai tanda kami sedang bekerja.

Sampai akhirnya aku sadar, aku hanya bekerja untuk diri sendiri. Kekhawatiran orang tua aku kesampingkan, dan jarang punya waktu lebih untuk bersama keluarga. Dulu aku juga gak pernah berpikir tentang bagaimana nilai uang yang aku peroleh, yang aku tahu aku tidak mencuri dan tidak bekerja di pub. Konflik batinku saat itu hanya tentang ruang untuk sholat, dan saat harus ikut tim melakukan promosi acara di berbagai club malam. Dan kemudian daftar konflik itu pun bertambah saat entah dari mana dalam otak ku timbul pikiran tentang… uang sponsorship yang berasal dari perusahaan rokok dan juga minuman keras. Aku juga tidak pernah betah berada di antara orang-orang yang mabuk dan di puncak acara biasanya mereka berpesta dengan saling menyiramkan bir ke tubuh satu sama lain. Walaupun saat itu pengetahuan agamaku sangat minim, dalam hati masih ada ruang yang Allah lindungi dengan kuat, bukan hanya menolak saat ditawari minum, aku juga menolak membantu seorang teman memegang kaleng bir. Satu tahun, dua tahun, tiga tahun… lelah rasanya. Bekerja untuk semua kesenangan pribadi ternyata membuat batin menjadi kosong.

Di tempat yang aku impikan,

Aku ingin melakukan sesuatu yang berguna, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang-orang di sekitar. Aku ingin melihat kedua orangtuaku tersenyum. Aku ingin tetap berpenghasilan, yang bisa aku tabung untuk meraih berbagai impian. Aku ingin merasakan jam 10 malam itu sudah waktunya membungkus diri di dalam selimut lalu tertidur lelap, bukan masih duduk tenang di depan komputer kantor dan berkata dalam hati, “bisnya masih ada sampe jam 11”. Aku ingin berdiri menunggu bis di pinggir jalan dengan memakai kemeja kerja, bukan memakai t-shirt dan tidak ada bedanya dengan mahasiswa yang berangkat ke kampus. Aku ingin pulang kantor tepat waktu dan kelak bisa berada di rumah sebelum suamiku pulang. Aku ingin punya banyak waktu bersama keluarga. Aku ingin punya banyak kesempatan untuk lebih mendekatkan diri pada Allah, dan aku ingin bekerja karena Allah.

Dan di tempat ini, Allah telah memberikan begitu banyak peluang. Tinggal bagaimana cara mengatur diri sendiri agar semua kesempatan yang Allah berikan tidak terbuang percuma. Aku harus banyak bersyukur, walaupun pekerjaan ini (mungkin) tidak sesibuk karyawan kantor lain, Allah telah menempatkan aku di satu seksi yang lebih banyak memberikan aku kesempatan untuk mengembangkan kemampuan. Aku memang tidak banyak tugas di lapangan seperti teman-teman yang lain, kadang memang iri dengan mereka, tapi aku dan dua orang teman di seksi yang sama masing-masing  diberikan kepercayaan untuk menjadi koordinator program baru. Bersyukur.. Allah begitu banyak memberikan kepercayaan dan kesempatan.

Jalan ini masih panjang, masih banyak peluang terbentang.

Seminggu yang lalu aku dan seorang teman kembali ditawari untuk terlibat pekerjaan di sebuah festival baru. Waktu itu aku sempat tergiur mendengarkan penjelasan tentang konsep acara dan betapa dalam pekerjaan tersebut aku bisa memperoleh berbagai kepuasan yang sama seperti dulu. Tapi sekarang aku sudah harus mantap mengambil keputusan, aku bekerja karena Allah, dan tidak mau kembali lagi ke kondisi yang dulu.

Sampai di titik ini Allah telah membimbingku, dan aku mau melangkah lebih maju. Karena Allah aku telah berada di tempat ini, karena Allah pula aku harus banyak bersyukur. Bersyukur karena aku yakin ini adalah tempatku, dan Allah tidak akan pernah membawaku ke tempat yang salah.

Di persimpangan jalan ini, aku harus memilih jalan yang aku yakini benar, dan bukan berbalik ke belakang.

Tuesday, January 25, 2011

Bersyukur dalam Kesabaran


“Iman terbagi menjadi dua, sebagian dalam sabar dan sebagian lainnya dalam syukur.”
(HR. Al-Baihaqi)

Kesabaran memiliki porsi yang sama dengan bersyukur, kata seorang sahabat. Ada tipe manusia yang didekati Allah dengan cara diberikan banyak nikmat agar dia banyak bersyukur, dan ada tipe manusia yang banyak didera persoalan yang membuat dia harus banyak bersabar.

Kedua kata tersebut, walaupun berbeda jauh rasanya, adalah ujian dari Allah Swt. Allah Yang Maha Tahu, Dia Yang memutuskan dengan porsi apakah seorang manusia harus didekati dan menjadi insan yang teruji dalam iman.

Manusia cenderung mengeluh dan terus tenggelam dalam kesedihan saat dilanda masalah. Tapi kalau saja kita tersadar, dibalik itu semua Allah menyediakan pahala yang besar bagi orang-orang yang bersabar.

Ada kalimat indah yang aku baca pada note di facebook salah seorang ustadz:
"Setiap duri yang menusuk orang beriman, sakitnya akan menghapuskan dosa-dosanya”.
Katanya pada sang ayah yang sedang menggigil menahan sakit. Mendengar itu, beliau pun mengangguk dan menjadi lebih tenang.

Iya, indahnya menjadi muslim. Dalam sabarku.. aku bahkan bisa mengharapkan penghapusan dosa. Kalau aku bisa berlatih menjadi orang yang bersyukur dan mengambil hikmah dalam kesabaran, aku berharap bisa memiliki jutaan rasa syukur saat Allah melimpahiku dengan berbagai kenikmatan.

Allah Yang Maha Mensyukuri, ajari aku untuk mencintai-Mu dalam segala kondisi
Bimbinglah aku dari kegelapan menuju cahaya, karena Kau satu-satunya yang tidak akan pernah membuat aku tersesat

Sunday, January 16, 2011

Open Your Eyes



-Dearest Allah, I thank You for everything that You brought in my life. All the happiness and pain, I know that You made it to open my eyes. Thank You Allah, You always give me a chance to be a better person. And now I realize, in any kind of circumstance, You are always here beside me. Allah... I love You and I need You, more than anything -

Here are the lyrics from Maher Zain. A beautiful song, describing Allah Swt as The Creator of all.

Look around yourselves
Can’t you see this wonder
Spreaded infront of you
The clouds floating by
The skies are clear and blue
Planets in the orbits
The moon and the sun
Such perfect harmony

Let’s start question in ourselves
Isn’t this proof enough for us?
Or are we so blind

To push it all aside..
No..

We just have to

Open our eyes, our hearts, and minds
If we just look bright to see the signs
We can’t keep hiding from the truth
Let it take us by surprise


Take us in the best way
(Allah..)
Guide us every single day
(Allah..)
Keep us close to You
Until the end of time

Look inside yourselves

Such a perfect order
Hiding in yourselves
Running in your veins
What about anger love and pain
And all the things you’re feeling
Can you touch them with your hand?
So are they really there?

Lets start question in ourselves

Isn’t this proof enough for us?
Or are we so blind
To push it all aside..?
No..

We just have to

Open our eyes, our hearts, and minds
If we just look bright to see the signs
We can’t keep hiding from the truth
Let it take us by surprise

Take us in the best way
(Allah..)
Guide us every single day
(Allah..)
Keep us close to You
Until the end of time..

When a baby’s born

So helpless and weak
And you’re watching him growing..
So why deny
Whats in front of your eyes
The biggest miracle of life..

We just have to

Open our eyes, our hearts, and minds
If we just look quiet we’ll see the signs
We can’t keep hiding from the truth
Let it take us by surprise


Take us in the best way
(Allah..)
Guide us every single day..
(Allah..)
Keep us close to You
Until the end of time..

Open your eyes and hearts and minds

If you just look bright to see the signs
We can’t keep hiding from the truth
Let it take us by surprise

Take us in the best way
(Allah..)
Guide us every single day..
(Allah..)
Keep us close to You
Until the end of time..

Allah..

You created everything
We belong to You
Ya Robb we raise our hands
Forever we thank You..

Alhamdulillah..  :)

Thursday, January 6, 2011

Oase di Padang Pasir

Mayoritas penghuni surga adalah fakir miskin, dan mereka akan dihisab lebih cepat satu hari (500 tahun dunia) daripada orang-orang kaya.

Begitu kesimpulan bunyi hadits yang aku baca dari buku biografi Nabi Muhammad Saw karya Martin Lings.

Aku memikirkan isi hadits itu selama berhari-hari. Kalau kebanyakan penghuni surga adalah para fakir miskin, lalu untuk apa manusia berlomba-lomba untuk menjadi kaya harta? Dan kalau menjadi kaya membuat kita harus menunggu dalam antrian selama 500 tahun hanya untuk dihisab, betapa banyak kerugian kalau manusia menjadi kaya. Lalu buat apa manusia mati-matian bekerja dan memiliki impian untuk hidup nyaman dan juga berkecukupan?

Sempat mendiskusikannya juga dengan seorang teman, pemahaman agamaku yang masih minim mungkin tidak sampai untuk mengungkap makna dari hadits itu. Dan jawabannya adalah... Kalau manusia menjadi kaya, harus banyak diamalkan karena di akhirat nanti semua harta tersebut akan dipertanyakan.

Walaupun masih belum puas, setidaknya bisa mengurangi kekhawatiran. Paling tidak aku jadi memperoleh kesimpulan bahwa tidak ada salahnya manusia (berjuang untuk) menjadi kaya, asalkan bisa mempertanggungjawabkan hartanya kepada Allah Swt.

Dari orang-orang kaya yang aku lihat, tidak sedikit juga di antara mereka yang dermawan. Tapi dari hadits tersebut aku merasa Allah tetap lebih mengasihi para fakir miskin. Perasaan tidak tenang itu aku biarkan menggantung, karena bagaimanapun sebagai muslim aku harus yakin, Allah Swt adalah Tuhan Yang Maha Adil.

Sampai suatu sore, lagi-lagi Allah Yang Maha Penuntun, membimbingku melalui satu kejadian sederhana.

--- *** ---

Maghrib itu aku terburu-buru pulang ke rumah. Karena sudah sangat gerah, sesampainya aku mau mandi dulu agar bisa sholat dalam keadaan bersih. Dari depan pagar aku lihat lampu garasi belum dinyalakan, tapi hari ini beda dari biasanya, seluruh penjuru rumah masih gelap. Mama ceroboh sekali sampai lampu teras depan juga lupa dia nyalakan.

Aku ketuk-ketuk pintu sampai juga jendela kamar mama, tapi juga tidak ada yang menjawab. Salah satu mobil di garasi juga gak ada. Positif.. semua sedang pergi dan mereka lupa meninggalkan kunci.

Ternyata mama dan dua adikku sedang berada di daerah pejaten dan terjebak macet. Aku lihat jam tangan, sudah jam 18.45. Kalau tetap mau tunggu mereka mungkin aku harus menjamak sholat maghrib ke isya, tapi aku kan bukan musafir... mana boleh?!

Lewat sms mama menyuruh untuk numpang sholat di salah satu rumah tetangga. Kesal sekali rasanya, menunggu mereka setengah jam lebih, lapar dan kedinginan, sedang hujan lebat dan sekarang harus mengungsi ke rumah tetangga. Terakhir kali aku berkunjung ke rumah para tetangga adalah waktu idul fitri kemarin. Rasanya sungkan. 

Apalagi paling malas memikirkan kamar mandi rumah orang lain. Mau wudhu di taman depan rumah, tapi khawatir kotor lagi karena jalanan yang becek. Duh Gusti... Apa rencana-Mu di balik ini?

Berjalan menembus hujan, aku datangi rumah tetangga yang terdekat. Rumah itu milik istri seorang pensiunan TNI, suaminya sudah meninggal dari sebelum aku lahir. Rumah mungil yang dulu pernah jadi korban kebakaran. Kira-kira waktu itu aku masih kelas 5 SD, tengah malam aku dan adik-adik lari berhamburan ke luar rumah. Rumah yang menempel di bagian belakang rumahku itu habis dilalap api. Beruntung pemiliknya berserta orang tuaku sedang pergi menjemput salah satu tetangga yang baru pulang dari tanah suci. Dan yang berdiri sekarang ini, hasil pembangunan yang didanai dari urunan warga.

Setahuku dia hidup bergantung dari pemberian anak-anaknya dan dari dana pensiunan almarhum suami yang jumlahnya jauh dari cukup. Dia punya tiga orang anak, dan di rumah itu kini dia tinggal dengan dua orang anak dan satu cucu, cucu yang (bisa dibilang) yatim. Aku pilih numpang sholat di rumahnya karena dia memang tetangga yang paling dekat dengan keluargaku.

Dari balik kaca rumah aku lihat si ibu sedang mengaji di ruang tamu, dan masih mengenakan mukena. Dia langsung membukakan pintu begitu aku mengucapkan salam dari teras depan. 

“Mau numpang sholat, mama lagi pergi dan lupa ninggalin kunci”, kataku.

Si ibu langsung memanggil anak dan cucunya yang sedang asik nonton TV di ruang tengah, minta disiapkan perlengkapan sholat. Rumah yang sangat sederhana, tapi suasananya hangat. Satu petak ruangan kecil itu difungsikan untuk tiga bagian, sisi kiri (sebelah ruang tamu) adalah ruang untuk menonton TV, dan sisi kanan terbagi dua untuk ruang makan dan kamar mandi (yang di depannya ada ruang cuci dan sumur), dan tidak ada pembatas sama sekali.

Jujur aku agak takut membayangkan bagaimana kamar mandinya, karena itu aku pinta untuk berwudhu di keran ruang cuci. Ibu itu langsung sibuk karena kerannya macet dan membereskan ruang cucinya.

“Kamar mandinya kotor”, katanya sambil membuka pintu kamar mandi, lalu memeriksa keran di bak kamar mandi yang juga sangat sedikit keluar airnya. Dia begitu sibuk membersihkan segala sesuatu hanya agar aku nyaman berwudhu disana.

“Udah metha wudhu di kamar mandi aja, itu bersih kok”, kataku karena tidak mau membuat dia lebih repot lagi. Dan Subhannallah... kamar mandinya memang bersih, hanya ruangnya yang sempit dan lusuh karena usia.

Selesai wudhu dia menyuruhku sholat maghrib di dalam kamarnya. Dari luar aku lihat lampunya temaram, suasana yang biasanya membuatku tidak nyaman. Anaknya meminta aku sholat di kamarnya karena lebih luas, tapi aku menolak karena khawatir membuat repot. Di dalam kamar si ibu, dia sudah mempersiapkan semuanya. Sajadah dia bentangkan di ruang sempit antara tembok dan tempat tidur, lagi-lagi aku merinding, aku agak “phobia” dengan pojokan karena biasanya kotor. Tapi aku sangat menghargai si ibu yang sudah susah payah membereskan setiap tempat agar aku nyaman. Di pojokan itu semuanya (lagi-lagi) bersih, kusingkirkan rasa takut dan ada damai yang menyelimuti hati. Kuambil mukena yang dia letakkan di atas tempat tidurnya, dan kali ini rasa terharu semakin menjadi-jadi.  Mukena itu masih wangi.. dia sengaja menyiapkan mukena yang bagus dan belum dipakai.

Ketika sujud di tengah sholat, air mataku menetes. Bukan hanya mukena, sajadah itu pun tampaknya baru dia keluarkan dari lemari. Setelah sholat, dia masih menawariku makan malam bersama keluarganya.

Bagai oase di padang pasir...


Allah Yang Maha Adil, sekarang aku mengerti mengapa Kau lebih mengutamakan kaum fakir dalam antrian hisab hari akhir.

Aku juga mengerti kenapa Rasulullah Saw lebih memilih hidup dengan sangat sederhana sedangkan beliau mampu memuliakan Siti Khadijah dengan 100 unta merah (mohon koreksi jika jumlahnya salah) yang setara dengan miliaran rupiah sebagai mas kawin pernikahan.

Harta yang manusia kumpulkan di dunia, hanya akan menjadi bumerang yang menghempaskan pemiliknya ke neraka jika tidak dipergunakan secara bijak atau berlebihan. Tak jarang harta juga bisa menjadikan manusia menjadi pribadi yang sombong atau riya dalam beramal.

Orang-orang kaya yang dermawan bisa membagikan harta sesuka hati kepada fakir miskin, karena mereka memang mampu. Tapi tetanggaku itu, berusaha memberiku yang terbaik dari yang dia punya dalam segala keterbatasan.

Mereka lebih terbiasa dengan rasa sabar dan ikhlas atas segala ujian Allah Swt, khususnya dalam kesulitanan materil. Kekayaan mereka terletak di dalam hati.

Orang-orang yang tetap memiliki iman dan tetap mau mendekatkan diri kepada Tuhannya, sedangkan mereka banyak mengalami kesulitan. Rasanya juga adil kalau merekalah yang menjadi penghuni prioritas dalam surga yang kekal. Nikmat Allah yang dinyatakan dalam hadits itu adalah pelipur lara bagi manusia-manusia beriman yang menjadi fakir di dunia.

Nikmat dan segala kemudahan fasilitas di akhirat bagi kaum fakir bagaikan oase yang Allah berikan sebagai penawar dahaga kesusahan yang mereka taklukkan di padang pasir dunia.

Bukan berarti aku harus menyerah dalam mengumpulkan nikmat harta demi kenyamanan hidup di dunia, karena Allah tidak suka orang-orang yang malas. Tapi aku mau belajar lebih sabar dan ikhlas, belajar untuk lebih banyak melakukan sesuatu yang berguna untuk senyuman orang-orang di sekitar. Aku harus lebih banyak bersyukur atas segala nikmat kemudahan yang Allah Swt berikan di dunia, karena Allah juga mencintai hamba-Nya yang bersyukur. Aku mau jadi orang yang bijak dan penuh rasa syukur, karena sebagai hamba Allah, aku juga berharap untuk diterima dalam surga.

Tuesday, January 4, 2011

S.A.H.A.B.A.T


Teman.. Orang2 yg datang dalam hidup. Tertawa ceria bersama, memberi nasihat saat diminta. Saat kamu sedih, gatau deh mereka ada dimana, melihat urat sedih itu di muka kamu tapi dia sekedar tau, dan ga perlu tau lebih dalam. Saling kenal tapi tempelannya ga seerat perangko yang ditempel pake lem aibon (kalo iseng coba aja).
And then... waktu kamu butuh seseorang untuk berbagi sesuatu yang pribadi/ ga layak untuk menjadi konsumsi ”publik”, ada perasaan yang tertuju ke orang2-orang tertentu. Iya, dia... entah kenapa kamu mencari dia. Merasa tenang waktu bisa bercerita biarpun ga saling berhadapan, dan walaupun orang yang kamu cari itu cuma duduk mendengarkan sampai kamu puas mengoceh dan kehabisan suara. Atau dia kasih solusi yang kurang selaras dengan pengharapan kamu, tp yah... kamu tetap telan ke otak karena dalam hati kamu tau dia bilang begitu karena mengenal kamu, dan dia peduli dengan kamu.

Orang-orang itulah yang aku sebut: Sahabat.

Mereka ada bukan hanya saat aku dibutuhkan, tapi juga saat aku butuh. Mereka mendengarkan saat aku butuh untuk didengarkan. Mereka berbicara apa pun... dalam tawa, tangis, senyum, suka, duka, aku mau terus bersama mereka, karena berbicara dengan mereka dalam segala kondisi membuat hidupku amat sangat berwarna, dan aku merasa semakin hidup.

Saat gembira mereka ada dalam kegembiraan itu. Saat terpuruk dan orang lain menunjuk penuh isyarat merendahkan, mereka membuatku melihat bahwa jari telunjuk itu memang menuju ke arahku tapi keempat jari yg lain tertuju ke orang itu sendiri. Mereka membuatku merasa kuat dan kembali menemukan makna eksistensiku lagi... bahkan lebih dari yang sudah-sudah.

Saat merasa benar, mereka ga sungkan memberi kritik agar aku menjadi lebih baik. Saat merasa salah, mereka membantu membenarkan dan semakin membuatku merasa berarti.

Saat mereka membuatku tersenyum, aku sayang mereka. Saat mereka membuatku tertawa, aku sadar aku amat sayang mereka. Dan saat mereka membuat hatiku gerimis, aku sadar rasa sayang itu teramat besar hingga aku pun memasangkan payung, jas hujan & pelapis anti petir sekaligus sebagai tameng agar badai hebat sekalipun ga akan membuatnya basah/ rusak.

Aku ceria. Aku bangkit. Aku kuat.. dan aku menjadi yg lebih baik. Mereka berada di antara semuanya.

Ari bilang:
”Sahabat = seseorang yang gembira bersamamu saat keberhasilanmu; seseorang yang menangis bersamamu saat kamu sedih ketika kamu gagal dan ada lelaki yg mengkhianatimu; seseorang yang membuka matamu dan memberi solusi ketika kamu berbuat salah; seseorang yang berbagi cerita tentang kekonyolan masa mudamu dan proses kedewasaan”

Well.. yg tentang pengkhianatan makhluk bernama lelaki ga usah dikasih ”garis bawah” dalam otak yah... itu cuma tambahan ilustrasi dalam dunia perempuan aja :p

Bagian yg terpenting, yaitu makna sahabat. Sekelompok manusia hebat yg menjadi makna di balik senyum dan tawaku. Mereka ada di segala suasana. Yang membantuku bangkit saat merasa di titik terendah, membuatku sadar akan betapa amat berharganya aku, dan indahnya dunia karena di hidup ini ada orang-orang yg layak untuk dianugerahi predikat "Sahabat" :)

Edited from my old note at facebook, published on October 15, 2009.
(** Untuk seorang sahabat yang sekarang menjauh karena sebuah kesalahpahaman. I'm like a star, sometimes u can't see me, but I'm always there for u)