Saturday, December 3, 2011

La Tahzan, Innaallaaha Ma’anaa



“…, Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita,…”

(Q.S At-Taubah, 9:40)


Ahad sore, 13 November 2011.

Kelompok liqo putri kami dibuka dengan kalimat “La tahzan, Innallaaha Ma’ana”. Sebuah tema singkat yang menjadi bahan diskusi yang begitu menggugah kami sore itu.

Tema tersebut diuraikan dalam penjelasan tentang “Ma’yatullah”, atau kebersamaan Allah.

Ma’yatullah terbagi atas dua, yaitu Ma’yatullan umum dan Ma’yatullah khusus.

Ma’yatullah umum yang pertama adalah bahwa kebersamaan Allah berwujud pengawasan yang selalu melekat pada setiap makhluk, kapan dan dimana pun.

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhmahfuz)”.
(Q.S Al-An’aam, 6:59)

Kedua, Allah memberikan kebaikan-Nya kepada seluruh makhluk. Allah Ar-Rahman, Sang Maha Pemurah. Kebersamaan Allah terwujud pada kenikmatan umum yang bisa dirasakan sehari-hari. Setiap hembusan udara yang kita hirup, cerah cahaya mentari yang menerangi bumi, air segar dan jernih penuntas dahaga, segala sesuatu yang menunjang kehidupan setiap makhluk. Baik kepada yang beriman maupun yang tidak beriman.

Lalu, dimanakah letak keadilan Allah pada hamba-Nya yang beriman?

Disinilah, Allah membersamai kita melalui Ma’yatullah khusus:

Yang pertama adalah berupa dukungan dari Allah, bahwa dalam suasana sesempit apa pun pasti akan ada jalan keluar. Contohnya dalam kisah Nabi Musa As yang dikejar oleh Firaun dan para pengikutnya hingga terdesak mendekati laut. Saat itulah pertolongan Allah datang.

Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Firaun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.
(Q.S Al-Baqarah, 2:50)

Begitu pula pertolongan Allah yang datang kepada Nabi Ibrahim As. Ketika Beliau menghancurkan patung-patung berhala yang disembah kaumnya dan menyisakan hanya satu patung besar yang kemudian dikatakan sebagai pelakunya. Kaumnya menjadi gusar dan beramai-ramai bermaksud untuk membakarnya, namun Nabi Ibrahim As sekalipun tidak gentar hingga masuklah Beliau ke dalam kobaran api. Dan (lagi), pertolongan Allah datang secara ajaib.

Kami (Allah) berfirman: ‘Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim’. Dan mereka hendak berbuat jahat kepada Ibrahim, maka Kami menjadikan  mereka itu orang-orang yang paling rugi. Dan Kami selamatkanlah dia (Ibrahim) dan Luth ke sebuah negeri yang telah kami berkahi untuk seluruh alam.”
(Q.S Al-Anbiya, 21:69-71)

Dan yang terakhir, Ma’yatullah khusus yang kedua adalah Nasruminallah, kemenangan dari Allah.

Pernah mendengar tentang kisah Perang Badr? Perang pertama yang pecah antara kaum Mukmin dengan kaum kafir Quraisy Mekah pada tahun 623 M dengan jumlah pasukan yang jauh dari seimbang. Kaum mukmin yang berjumlah hanya sekitar 300-an pasukan berperang melawan para kafir Quraisy yang berjumlah antara 900-1000 pasukan.

Pertolongan Allah kembali datang. Ketika pasukan kaum mukmin diperintahkan untuk bergerak maju sebenarnya mereka tidak maju sendirian.

(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut".
(Q. S Al-Anfaal, 8:9)
(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman". Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.”
(Q. S Al-Anfaal, 8:12)

Martin Lings dalam bukunya yang berjudul “Muhammad”, menuturkan bahwa pada Perang Badr, banyak yang melihat sekilas para malaikat mengendarai kuda, dengan kaki yang tak pernah menyentuh tanah, dipimpin oleh Jibril yang memakai serban kuning, sementara malaikat-malaikat yang lain memakai serban putih yang ujungnya melambai-lambai ke belakang. Salah seorang mukmin sedang mengejar musuh, dan tiba-tiba kepala orang yang dikejarnya itu jatuh ke tanah sebelum ia berhasil menjangkaunya, ditebas tangan gaib. Tentara Quraisy pun segera tercerai berai dan tak sanggup lagi melanjutkan pertempuran, kecuali hanya segelintir yang masih tertinggal karena tidak dilewati oleh pasukan malaikat.

Ketika peperangan telah usai dengan dimenangkan oleh kaum mukmin, Abu Sufyan menceritakan kepada Abu Lahab:

“Kami berhadapan dengan musuh dan berbalik, tetapi mereka terus menyerang kami dan mengambil tawanan semau mereka. Aku tidak bisa menyalahkan orang-orang kami, karena kami tidak hanya menghadapi mereka, tetapi juga suatu pasukan berbaju putih dengan kuda belang di antara bumi dan langit. Pasukan itu tidak menyisakan sedikit pun, hingga tak ada lagi yang bisa bertahan untuk melawan mereka.”

Kemenangan diraih, karena kaum mukmin berperang dengan bantuan Allah.

Itu hanyalah sedikit kisah pertolongan Allah pada para Rasul. Bukan berarti kita hanya manusia biasa maka pertolongan Allah menjadi sulit.

Tercatat pada Q.S Qaaf (50:16):

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”

***

Jangan bersedih…

Karena Allah Swt selalu ada

Luangkan waktu sejenak untuk Dia yang telah menganugerahkan waktu untukmu

Saat hidup terasa sulit, menangis dan mengadulah pada-Nya, karena hanya Dia yang akan selalu mendengarkan tanpa jemu

Jangan bersedih, karena pertolongan Allah itu dekat pada setiap hamba-Nya yang beriman

Sholehkan diri dan mendekatlah pada-Nya

Dan jangan bersedih,

Ingatlah selalu bahwa sesungguhnya Allah Swt bersama kita.

Wednesday, October 5, 2011

Perjalanan Menuju Tempat yang Tertinggi


Aku percaya, maka aku akan melihat keajaiban
Iman adalah mata yang terbuka, mendahului datangnya cahaya
-Salim A. Fillah-


“Usia Anda berapa mba?”, tanya salah seorang kepala bidang pada masa orientasi kerja.

“Dua puluh lima”, jawabku, waktu itu masih di pertengahan tahun 2010.

“Sudah menikah?”

“Belum..”

“Sudah punya pacar?”

“Saya gak pacaran pak, insya Allah”

“Kenapa? Pernah sakit hati?”

Sambil tersenyum kujawab, “insya Allah, bukan karena itu pak”

“Belum pernah sama sekali?”

“Dulu pernah, tapi semenjak berhijab saya gak pacaran lagi”.

---***---

Beberapa minggu lalu seorang teman menyampaikan, “Hmm.. tentang tulisan metha yang ini, aku gak nyangka metha berprinsip begitu, karena yang aku lihat metha bukan akhwat berjilbab panjang”.

Aku hanya bisa tersenyum mendengar komentarnya setelah dia membaca artikel “Cinta Kusujudkan di Mihrab Taat”. Iya, dia memang benar. Kerudungku tidak lebar dan panjang, hanya tetap kujulurkan menutup dada. Aku hanya perempuan biasa yang baru berkerudung dalam dua tahun terakhir, perempuan biasa yang baru belajar memperdalam ilmu agama.

Percakapan di atas hanya sedikit dari yang telah kulakoni dalam dua tahun terakhir. Terutama tentang keputusan berhijab dan tidak berpacaran. Mungkin untuk kebanyakan orang dua hal itu masih berat untuk dijalankan. Apalagi di Indonesia hijab seperti bukan dipandang sebagai kewajiban, melainkan sebuah budaya keagamaan. Itu pun tidak semua perempuan muslim mau menjalankan karena merasa belum siap. Apalagi mendengar prinsip tentang tidak mau berpacaran, seringkali orang mengerutkan kening saat aku mengatakannya. Dan itu wajar, karena dulu juga butuh pergolakan cukup lama untuk bisa menerapkannya pada diri sendiri.

Yang sedang kuceritakan sekarang ini adalah tentang proses perjalanan hidup.

Mengenai perjalanan hidup, aku merasakan begitu luasnya bentuk kasih sayang Allah Swt. Dia mengajarkan cara untuk bangkit, setelah sebelumnya memberi berbagai ujian dalam tingkat kekuatan yang Dia Maha Tahu tentang batasan dimana aku masih sanggup.

Sering orang mengaitkannya dengan pengalaman sakit hati. Iya, itu juga pernah. Dan pengalaman itu justru menjadi bagian dari perjalanan yang membawa pada Allah. Bukan bermaksud membanggakan keburukan di masa lalu, tapi karena aku merasa sangat bersyukur. Karena dalam semua kehinaanku, Allah masih memanggil.

Hari itu, di dalam sebuah pesawat.

Laki-laki itu menyodorkan dua buah bingkisan. Satu diletakkan di tangan kanannya dan satu di tangan kiri. Dia memintaku memilih: mau sekotak coklat atau bungkusan merah berbentuk hati?

Tanganku mengambil bungkusan merah berbentuk hati, dan mataku terus terfokus menatapnya. Aku lupa sebelumnya laki-laki itu duduk dimana, yang aku ingat dia kemudian pindah ke kursi belakang, duduk dengan wanita lain.

Lalu bungkusan itu kubuka, dan dalam sekejab berubah menjadi sejadah.

Kuperhatikan sekeliling, pesawat itu sepi dan hanya berisi beberapa orang yang kukenal. Aku duduk sendirian pada barisanku, dan mereka juga duduk pada barisannya masing-masing.

Pesawat itu terus terbang, tinggi dan semakin tinggi menembus awan. Kami terus terbang menuju langit yang entah dimana ujungnya.

Dan aku pun terbangun...

Sampai kini mimpi itu belum bisa kulupakan. Mimpi penutup dari rangkaian mimpi yang terjadi dalam semalam. Detail mimpinya tidak perlu kuceritakan, karena intinya adalah aku sedang mengurai hikmah.

Orang boleh bergunjing tentang masa laluku, orang boleh berpraduga tentang berbagai hal yang aku terapkan. Allah Yang Maha Tahu, dan biarlah Allah menyimpannya dengan rapat.

Yang aku yakini, kini aku sedang berjalan menuju takdir Allah yang terdekat, yaitu kematian. Aku memberanikan diri untuk berkerudung, mulai membatasi diri dari lawan jenis yang bukan mahram atau belum menjadi suami/ keluarga, aku belajar untuk menjadi pribadi yang lebih sabar, belajar untuk lebih mengasihi keluarga dan orang-orang di sekitar, belajar untuk terus tersenyum dan melakukan segala sesuatu karena Allah. Setiap hari belajar untuk menjadi orang yang lebih baik, dan sekarang aku merasa masih sangat jauh dari cukup.

Karena saat ini aku sedang berada dalam pesawat yang membawaku pada Allah. Pesawat yang membawaku pada tempat tertinggi yang hanya diketahui oleh Allah dimana ujungnya.

Tidakkah kamu juga merasa bahwa dalam perjalananmu saat ini, Allah sedang memanggil?

Setelah sholat maghrib kutemukan rangkaian ayat:

“Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras menuju Tuhan-Mu, maka kamu akan menemui-Nya”.
(Q.S Al-Insyiqaq, 84:6)

Air mataku menetes membaca terjemah kitab suci Al-Qur’an. Kalimat di footnote menafsirkan: “manusia di dunia ini baik disadari atau tidak adalah dalam perjalanan kepada Tuhannya. Dan pasti dia akan menemui Tuhannya untuk menerima pembalasan perbuatan baik atau buruk”.

Subhannallah.. Allah memberiku petunjuk melalui mimpi yang bermakna indah, dan Dia menuntunku menemukan rangkaian ayat-Nya sebagai penjelasan.

Dan di akhir perbincangan, Al-Qur’an berkata:

“Sungguh, akan kamu jalani tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)”
(Q.S Al-Insyiqaq, 84:19)

Tulisan ini sebagai penjelasan dari serangkaian perubahan yang kulakukan. Bukan karena satu pengalaman tertentu, tapi karena serangkaian hikmah yang berujung pada kesimpulan bahwa hidup adalah sebuah perjalanan bertingkat menuju tempat yang tertinggi, a journey to the highest place.

Thursday, September 22, 2011

Apakah Aku Cantik?



Apakah aku cantik?
Sering aku mendengar orang memuji penampilanku

Apakah aku cantik?
Sepatu highheels yang kupakai membuatku berjalan dengan anggun

Apakah aku cantik?
Para pria menolehkan wajah mereka saat aku melintas

Apakah aku cantik?
Orang bilang kakiku panjang, membuatku sangat percaya diri memakai busana yang memperlihatkan keindahannya

Apakah aku cantik?
Tubuhku yang langsing membuatku leluasa memakai pakaian yang menonjolkan lekuk tubuh

Apakah aku cantik?
Aku begitu bangga dengan rambutku yang indah

Apakah aku cantik?
Teman-teman wanita pun kerap memuji kulit wajahku

Apakah aku cantik?
Aku mendapati seorang teman tertawa geli menyaksikan seorang pria tidak berhenti menatapku

Apakah aku cantik?
Banyak lelaki mendekatiku

Apakah aku cantik?
Tapi bagaimana kalau berat badanku bertambah dan aku  tidak lagi menarik

Dan lagi-lagi...

Apakah aku cantik?
Aku takut mereka hanya melihat fisik dan penampilanku

Apakah aku cantik?
Aku mulai sadar.. Mereka melihatku bukan dengan penghormatan, tapi dengan hawa nafsu

Apakah aku cantik?
Ternyata.. Dalam diri pun aku masih saja bertanya, apakah benar aku cantik?

Apakah aku cantik?
Entah sudah berapa banyak uang yang kuhabiskan untuk membeli berbagai peralatan make-up, aksesoris dan pakaian-pakaian mahal agar aku terlihat cantik

Apakah aku cantik?
Siapakah yang bisa menjawab dengan sebenar-benarnya?

Apakah aku cantik?
Allah, hanya Engkau yang tahu jawabannya

Apakah aku cantik?
Ya Rabb... Apakah benar aku cantik?

Apakah menurut-Mu.. aku cantik?

***
Dan Allah menjawabnya melalui salah satu ayat:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”

(Q.S An-Nuur, 24:31)

***
Terselip sebuah pesan dari Allah Swt untuk para wanita beriman.

Ternyata, di hadapan Allah aku belum menjadi cantik. Padahal selama ini aku merasa telah beriman.

Allah mengkaruniai dengan begitu banyak kelebihan, tapi aku menghumbarnya dengan percuma kepada para lelaki yang bukan muhrim.

Allah mensyariatkan hijab untuk melindungiku, tapi aku sendiri memberi celah pemancing hawa nafsu.

Tetapi.. Bisakah orang melihatku bukan karena penampilan? Dan aku juga tidak merasa menarik dengan pakaian tertutup.

Ya Allah, bolehkah aku menunda berhijab sampai aku siap?

***
Seorang teman mengirimkan pesan singkat:

“Kebaikan itu meninggalkan sinar di wajah, cahaya di hati, keluasan rizki, kekuatan fisik, dan kecintaan dalam hati orang lain”
(Ibnu Abbas ra)

Inilah makna cantik,

Wajah yang bersinar, hati yang tenang dan lapang, diri yang dicintai orang lain karena kebaikan.

Berhijab bukanlah tentang sebuah kesiapan, tetapi adalah tentang iman kepada pesan Allah Swt melalui ayat suci Al-Qur'an. Ini adalah sebuah kewajiban, bukan sebuah pilihan "boleh atau tidak".

Lagipula, sampai kapankah hati ini akan siap? Satu tahun, dua tahun, atau nanti setelah menikah dan memiliki satu anak?

Cantik, bukankah yang paling dekat dengan kita adalah kematian?

Karena itu katakanlah dalam hatimu bahwa:

"Aku ingin menjadi cantik di hadapan Allah Swt, ingin dicintai-Nya karena iman."

Sunday, September 4, 2011

Ma'idaturrahman


Kalau hidup sekedar hidup,
Babi di hutan juga hidup
Kalau kerja sekedar kerja,
Kera juga bekerja
-Buya Hamka -


Kira-kira begitulah isi petuah Buya Hamka yang seringkali dipaparkan Ustad Bachtiar Nasir di kelas pengajian kamis malam kami. Beliau tidak mau kami hanya sekedar menjadi pemuda dan pemudi muslim biasa, tidak mau kami mentadaburi ayat-ayat suci Al-Qur’an tanpa mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.

Dan beginilah hasilnya, di bulan suci Ramadhan tahun ini aku mengikuti kegiatan baru yang namanya tercetak indah pada spanduk bertema besar:

Ma’idaturrahman
(Sajian berbuka puasa gratis)


Kalau kebetulan pada bulan Ramadhan kemarin, menjelang maghrib Anda melihat ada segerombolan muda mudi berompi biru membagikan kotak putih berisi tajil di beberapa titik macet sekitar lampu merah daerah Jakarta Utara/ Jakarta Pusat/ Jakarta Barat/ Jakarta Selatan/ Jakarta Timur atau di daerah Tangerang Selatan, Anda mungkin telah bertemu dengan kami, tim Ma’idaturrahman.

Kegiatan kami sederhana, sekedar membagikan tajil berbuka puasa bagi orang-orang yang terkena macet di waktu menjelang maghrib. Di setiap titik kami membagikan sekitar 300 kotak tajil yang umumnya berisikan satu air mineral dalam kemasan gelas, satu plastik kecil kurma, dan snack manis/ asin seperti roti, risoles, atau berbagai kue lainnya yang umumnya biasa aku temui sebagai snack rapat di kantor. Tapi siapa sangka di balik kegiatan sederhana ini, aku mendapatkan banyak hikmah.

Pertama, aku gak pernah berpikir bahwa hanya untuk mendapat satu kotak tajil orang-orang akan dengan antusias menepikan kendaraannya dan mengantri di depan kami.

Ini kualami saat kami membagikan tajil di sekitar Halte PPM, Jl.Tugu Tani Jakarta Pusat. Kebetulan aku bergabung dengan tim Jakarta Pusat yang titik pembagiannya relatif lebih dekat dengan lokasi kantor.

Tentunya yang mengantri adalah para pengendara motor, yang Alhamdulillah cenderung tertib dan segera bergegas melaju setelah berhasil mendapatkan tajil dari kami. Tapi yang membuat mulutku menganga adalah ketika sebuah truk juga ikut menepi. Ya Allah… kotak-kotak tajil berisikan makanan kecil ini benar-benar dibutuhkan banyak orang yang terjebak macet.

Kedua, rasa bahagia bisa memberikan makanan bagi orang-orang yang membutuhkan.

Di tengah kemacetan ibukota, kulihat wajah-wajah lelah para pekerja. Raut wajah harap-harap cemas akan bisa sampai rumah sebelum azan maghrib berkumandang, dan wajah lelah pengemudi kendaraan umum yang tetap harus bekerja mengantarkan penumpang demi mengejar setoran. Senyumku dengan mudahnya mengembang saat membagikan kotak tajil, bahkan untuk para pengemudi bajaj maupun kernet metromini yang biasanya menjadi sasaran sumpah serapah saat menyetir mobil pribadi. Yang kupikirkan hanya bahwa mereka butuh, dan aku belajar tentang kepedulian.

Ketiga, aku belajar tentang kesabaran dan keikhlasan untuk menyenangkan hati orang lain.

Pernah ditolak saat membagikan flyer kegiatan atau promosi event perusahaan? Aku pernah, dan rasanya berbeda dengan ditolak saat membagikan makanan gratis. Jika flyer kegiatan/ promosi perusahaan ditolak karena biasanya orang cenderung malas membaca iklan, di luar dugaan ternyata kami juga menemui kesulitan membagikan tajil walaupun secara gratis. Para pengendara mobil pribadi umumnya adalah yang tersulit untuk menjadi target, karena selain biasanya posisi kendaraan mereka berada di tempat yang “menantang” alias lebih ke tengah jalan, kami juga harus berbesar hati mengetuk jendela mobil mereka untuk menawarkan tajil. Dan itu pun tidak semuanya mau menerima, bahkan enggan untuk sekedar menurunkan kaca mobil.

Dari cerita di milis juga ada pengalaman teman yang ditolak karena orang merasa takut. Iya, takut.. Agak geli juga membacanya. Ternyata ada juga orang yang takut kami memberi obat bius di makanannya, atau mungkin juga takut kami mintai uang untuk membayar tapi mereka malas bertanya. Ternyata pakai rompi biru Ma’idaturrahman juga bukan sepenuhnya menjamin orang akan percaya dengan kami.

Tapi yang aku dan (mungkin) teman-teman pikirkan, bahwa 300 kotak tajil itu harus habis dan orang-orang yang sedang terkena macet bisa segera berbuka puasa. Ini adalah pelajaran dari Allah tentang membangun rasa sabar dan ikhlas.

Keempat, pelajaran tentang bekerja keras karena Allah.

Ada pengalaman lucu dari seorang teman. Waktu itu tim Jakarta Pusat sedang bertugas di Jl. Tugu Tani dan dia naik ke atas metromini untuk membagikan tajil kepada para penumpang. Di luar dugaan jalanan menjadi lancar, dan metromini membawanya sampai ke Tanah Abang.

Suatu waktu saat membagikan tajil di sekitar Jl. Budi Kemulyaan (dekat gedung Bank Indonesia), kami harus memecah tim karena lagi-lagi jalanan juga lancar. Kami pun berpencar dan terburu-buru karena khawatir tertabrak kendaraan.

Di hari ke-19 Ramadhan mungkin adalah satu dari pengalaman paling melelahkan. Jumat sore itu lalu lintas di Jakarta Pusat macet total. Sampai mendekati maghrib mobil yang membawa snack box kami masih belum juga sampai dan terjebak macet di Jl. Kebon Sirih. Akhirnya kami mengejar dengan naik ojek ke arah stasiun Gondangdia, dan lanjut  mencari dengan berjalan kaki. Setelah azan maghrib berkumandang kami baru menemukan mobil tersebut dan berpencar membagikan tajil langsung di lokasi.

Dan (menurutku) yang paling melelahkan adalah Senin, 22 Agustus 2011. Karena waktu yang mendekati akhir Ramadhan, kami memindahkan lokasi ke Stasiun Gambir untuk membagikan tajil kepada para pemudik. Jumlah snack box pun ditambahkan menjadi 500 box. Namun di luar dugaan ternyata kami terganjal perizinan, sehingga hanya bisa menyebar di sekitar lobby stasiun. Disana pun kami menemui banyak ganjalan seperti: jumlah pemudik kereta yang ternyata masih sedikit, banyaknya kios yang menjual makanan, dan kami juga mulai dikerumuni oleh para proter dan orang-orang yang berpenampilan seperti preman. Akhirnya setelah berhasil menyebarkan sebanyak 200 box, sekitar 10 menit menjelang azan Maghrib koordinator kami dengan rembukan bersama tim membuat keputusan untuk berpindah lokasi ke sekitar Sarinah. Kami terpaksa  berpindah karena lokasi yang tidak lagi kondusif.

Keputusan mendadak itu membuat anggota tim berpencar dengan terpisah kendaraan menuju lokasi. Ada aksi nekat dan berani juga saat koordinator kami memutuskan untuk turun dari mobil di salah satu lokasi yang kebetulan macet. Beberapa dari kami pun turun membagikan beberapa box, sedangkan mobil meninggalkan kami langsung melaju ke Sarinah. Waktu yang sempit, anggota yang terpencar di beberapa lokasi dan jumlah snack box yang lebih banyak dari biasanya membuat kami bertugas hingga hampir mendekati waktu Isya.

Sebenarnya, apa yang membuat kami mau bersusah payah seperti itu?

Teman-teman Ma’idaturrahman seringkali masih harus lanjut itikaf di masjid selesai shalat tarawih. Ada juga yang masih harus rapat hingga larut malam untuk beberapa kegiatan Ramadhan lainnya.

Aku sendiri lebih memilih langsung pulang ke rumah. Jauhnya rumah dan minimnya waktu istirahat untuk kembali beraktivitas keesokan harinya, membuatku  tidak bisa rutin membantu teman-teman.

Pernah kami membahasnya dalam sebuah percakapan ringan, jika bukan karena Allah tentu kami enggan menguras waktu dan tenaga seperti itu.

Dan hikmah yang termanis adalah tentang persahabatan.

Melalui Ma’idaturrahman aku mendapatkan banyak teman baru. Ikatan kami disatukan dari kebersamaan dan kerja sama selama di lokasi. Selama berbulan-bulan aku mengaji di Ar-Rahman Quranic Learning Center (AQL), tapi begitu bergabung di Ma’idaturrahman aku baru benar-benar mengenal mereka dengan berbagai karakternya yang menarik.

Ada Mba A’an sebagai koordinator tim Jakarta Pusat, karakternya yang supel dan ceria membuatku betah dan terkadang lupa waktu untuk pulang (imbasnya aku sudah beberapa kali ketinggalan kereta malam). Ryan dan Ucok yang biasa tiba di lokasi lebih awal dengan membawa ratusan box tajil. Kiki yang menyemangati kami dengan bungkusan air mineral botol dan combronya. Mas Kuwat yang berani turun ke tengah jalan, hingga kadang terkocar-kacir dikejar kendaraan yang terburu-buru melaju saat lampu sudah hijau. Mas Addy dan Ario yang di sisa waktu mereka yang sibuk dan tubuh lelahnya masih rela turun membantu tim. Mba Yanti yang menurut cerita juga suka lupa waktu kalau sudah bersama teman-teman. Mba Dewi yang baru sempat membantu di seminggu terakhir namun semangat tempurnya tidak diragukan lagi. Mba Sri dan Mba Faiz yang sangat gigih membantu tim hampir setiap hari. Ada juga adik perempuannya Ryan yang masih remaja tapi semangatnya luar biasa.


Itulah cerita Ramadhanku. Ma’idaturrahman, merupakan sebuah pengalaman baru yang membuat ibadah Ramadhan semakin terasa lebih berarti.

Kalau hidup hanya sekedar hidup dan kerja hanya sekedar bekerja, mungkin kami tidak akan mau bersusah payah untuk mengenyangkan lapar dan dahaga orang-orang di jalan. Tapi kami memilih jalan yang berbeda, kami tidak mau seperti babi hutan yang hidup dengan merusak tanaman orang, dan tidak mau seperti kera yang bekerja hanya untuk mengenyangkan perut sendiri.

Kami mau menjalankan hidup dan bekerja karena Allah, mengharapkan rewards langsung dari Allah.

Semoga Ma’idaturrahman terus berlanjut pada Ramadhan di tahun-tahun berikutnya dan semakin banyak pemuda-pemudi muslim yang ikut berpartisipasi. Melalui kegiatan ini, mari kita perlihatkan bahwa Islam itu indah dan muslim adalah pribadi yang peduli kepada sesama.

Thursday, August 4, 2011

Dialog Diri


“Pagi ini kenapa matahari bersinar begitu indah?”

Hati: “Itu karena Allah Swt hendak menunjukkan bahwa Dia sayang padamu”

“Apakah itu benar?”

Hati: “Kenapa kamu tidak juga sadar?  Pagi ini setelah sahur Allah membuat kamu tertidur dan membangunkan kamu sebelum langit menjadi terang. Kamu berangkat lebih telat tapi Allah membuat kamu menemukan jalan pintas menuju stasiun. Kamu lama mengantri tiket ketika kereta datang dan kamu berjalan sangat lambat karena pasrah tertinggal kereta, tapi kereta itu seperti tetap 'menunggu' kamu dan baru menutup pintu setelah kamu masuk. Sekarang kamu berdiri tepat di depan pintu, tapi tidak ada penumpang yang mendorong-dorong tubuhmu ke belakang. Kamu bisa berdiri dengan nyaman dan bernafas dengan lapang. Kamu juga bisa bebas menatap pemandangan di luar.”

“Iya, itu benar.  Tapi kenapa rasanya hati ini begitu sulit?”, kataku sambil terus menatap langit pagi selagi kereta terus berjalan.

Hati: “Lihat itu..”

Kereta bergerak melambat di Stasiun Cawang, kulihat tiga orang berpakaian kumal tidur beralaskan kardus di bawah bangku tunggu penumpang.

Hati: “Keadaan mereka juga sulit. Tapi Allah tidak pernah memberikan manusia cobaan melebihi batas kemampuannya”

“Aku tahu.. Secara teori aku tahu. Tapi pada kenyataannya aku merasa kadang tidak kuat”

Hati: “Iya, Allah Swt menguji manusia sampai pada titik iman yang terlemah. Dan yang kamu jalani sekarang adalah pertanda bahwa Allah Maha Tahu bahwa kamu kuat untuk ini”.

“Sampai kapankah harus bersabar”

Hati: “Sampai batas waktu yang Allah mau. Apakah tidak cukup bahwa kamu dicintai Allah?”

“Cukup.. Seharusnya itu lebih dari cukup”

Hati serasa basah oleh gerimis, mataku kembali mengikuti matahari yang terus bergerak masuk ke balik awan.

“Ahh.. kenapa mataharinya menghilang? Apakah Allah marah padaku?”

Hati: “Berbaik sangkalah pada Allah. Bagaimana rasanya jika Allah menjauh darimu?”

“Aku tidak mau Allah menjauh...”

Terus kutatap matahari, sinarnya kembali menyembul dari balik awan.

Hati: “Nikmat Allah itu begitu besar bukan? Bahkan kamu mencari-cari pancaran sinar matahari”

Kereta berhenti di Stasiun Tebet, dari balik pintu kulihat seorang ibu yang baru turun ditunggu pria (yang mungkin suaminya) di depan gerbong wanita. Bapak itu mengambil kursi lipat dari tangan istrinya, dan membantu melipatnya kembali. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi aku merasa iri dengan mereka.

“Aku juga mau bahagia seperti itu, mereka sudah tua tapi terlihat harmonis”

Hati: “Bersabarlah... Manusia punya rencana, tapi rencana Allah adalah yang terindah. Yang perlu kamu lakukan adalah bersabar sampai saat itu datang, semua akan indah pada waktunya”

“Iya, saat ini aku hanya bisa bersabar, semoga kedua orangtuaku juga diberkahi Allah dengan kesabaran. Semoga Allah memberiku kekuatan dalam kesabaran”

Kereta bergerak menuju Stasiun Manggarai. Di salah satu tembok di pinggir jalan ada spanduk bergambar karikatur Gubernur Jakarta dan bertuliskan kalimat: “Sabar itu Dahsyat Cing!”.

“hehehe... bisa pas begitu”

Hati: “Iya, tidakkah kamu sadar? Allah sedang meminta kamu untuk bersabar”.

“Iya, dan sekarang aku rindu pada Allah”.

Air mataku nyaris keluar, dari balik awan kulihat matahari kembali bergerak menunjukkan wajah.

“Mataharinya muncul lagi”

Hati: “Allah mencintaimu”

“Aamiin. Aku mencintai-Mu Allah”.

Sambil berjalan menuju tangga di stasiun, kudengar hati berbisik.

Hati: “Sabar itu hidayah”

Thursday, June 30, 2011

Happiness Concept



Kira-kira tiga minggu lalu, Ust. Bachtiar Nasir menjelaskan tentang tafsir Q.S Al-Baqarah ayat 5, setelah pada beberapa minggu sebelumnya Beliau membahas 4 ayat sebelumnya. Ayat yang kelima ini adalah sebuah berita gembira dari Allah, tentang orang-orang yang beruntung.

Beruntung, atau dalam bahasan lebih mendalamnya adalah tentang konsep kebahagiaan. Bahagia adalah yang dituju oleh manusia, orang berjuang untuk hidup dan melakukan segala cara untuk menjadi orang yang berbahagia. Ada yang menempuh jalan lurus, ada yang tidak kuat dalam menghadapi ujian dan menyerah. Setiap orang mungkin memiliki konsep masing-masing untuk meraih kebahagiaan, dan berbeda pula pencapaiannya.

Di kelas itu aku memperoleh satu ilmu baru yang belum pernah kudapatkan di tempat lain. Tentang konsep kebahagiaan yang berdasarkan pada dalil-dalil Al-Qur’an, konsep yang disusun langsung oleh Sang Pemberi Kehidupan. Allah Yang Maha Benar, dulu aku sibuk mencari dan merumuskan sendiri konsep kebahagiaan dengan merenungkan pengalaman hidup, tapi ternyata telah tertulis dengan indahnya dalam Al-Qur’an.

Dalam ceramahnya Ust. Bachtiar Nasir mengutip kalimat dari Ibnu Qayyim. Kurang lebihnya yang kuingat seperti ini:

Mengapa Surga Firdaus adalah surga yang paling indah? Dan mengapa Neraka Jahanam adalah neraka yang paling buruk? Karena Surga Firdaus adalah surga yang paling dekat dengan Arsy-Nya Allah, dan neraka jahanam adalah neraka yang terjauh.

Jika ada tempat di dunia yang dipilih Allah sebagai Arsy-Nya, maka tempat itu bukanlah di tanah suci Mekkah, melainkan ada dalam hati manusia. Hati suci yang selalu mengingat Asma-Nya Allah dan ayat-ayat Allah”.

Hati suci yang selalu bersama dengan Allah, selalu mengingat Allah. Ini adalah inti dari kebahagiaan. Penggambarannya seperti ini:

Orang bahagia, adalah orang yang merasa cukup untuk berharap hanya pada Allah, dan menggantungkan harapan hanya pada Allah. Carilah orang yang paling kamu cintai, tapi dia tidak akan mampu memberikan kamu segalanya. Tapi Allah Swt bisa, karena bagi Allah tidak ada hal yang mustahil.

Orang yang paling kuat, adalah orang yang merasa cukup dengan hanya bersandar pada Allah, bertawakal pada Allah.

Orang yang paling kaya, adalah orang yang merasa cukup dengan Allah saja.

Orang hebat, adalah orang yang berbahagia hanya dengan berharap pada Allah, kuat hanya dengan bertawakal pada Allah, kaya hanya dengan merasa cukup dengan pemberian Allah, terhormat karena bertakwa pada Allah.

Bahagia hanya dengan Allah.

Orang yang paling bahagia di dunia adalah orang yang tidak pernah menginginkan banyak, tapi dia bahagia dengan yang Allah berikan. Saat manusia ridho dengan segala keputusan Allah, maka Allah pun akan ridho dengannya.

Dan semua konsep kebahagiaan terangkum dalam ayat berikut:

“Alif Laam Miim. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.”
(Q.S Al-Baqarah, 2:1-5)


Nilai kebahagiaan akan bisa dicapai saat hati manusia sepenuhnya berserah pada Allah Swt dalam iman, taat menjalankan perintah-Nya. 

Hati yang beriman, hati yang selalu mengingat Allah, hati orang-orang yang senantiasa mendapat petunjuk Allah. Diberikan apa yang diinginkan, dan dijauhkan dari segala hal yang tidak baik dalam pengetahuan Allah.

Jika sudah demikian, jadilah dia masuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung, bahagia menurut konsep Al-Qur’an, konsep langsung dari Sang Maha Pemberi Kebahagiaan.

Insya Allah.

Wallahua’lam bissawab.

Sunday, June 19, 2011

Curing The Pain



Sakit hati, perasaan yang relatif sulit diatasi. Pada salah satu fase hidup, Allah Swt memberi manusia perasaan ini sebagai ujian. Beberapa orang yang aku lihat menjalani penyembuhan yang memakan waktu lama, bahkan tahunan.

Kusaksikan sendiri pada orang-orang yang kukenal. Ada yang semakin kurus dan menenggelamkan diri dalam kesedihan, ada yang secara drastis berubah menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya, dan sayangnya perubahan itu cenderung menuju kehancuran. Ada yang memutuskan untuk kembali mendekat pada Allah, hanya saja masih belum mampu mengatasi keinginan untuk terus berputar di dunia yang sama, terus ingin dekat dengan orang yang menyakiti. Dan yang terburuk, ada juga yang menjadi marah kepada Allah lalu meninggalkan ibadah yang biasa dilakukan. Dalam kemarahan, dia memandang Allah tidak adil.

Aku menulis ini bukan karena tidak tahu rasanya sakit hati. Pernah, aku juga pernah. Kalau mau tahu bagaimana penggambarannya, kira-kira dua tahun lalu aku pernah menangis sampai terduduk lemas di lantai. Selebihnya cukup hanya Allah yang tahu.

Dalam fase itu, aku masih sadar bahwa hidup ini singkat dan hanya sekali, tidak boleh habis waktu untuk hal-hal yang merusak. Dan aku juga tidak mau orang-orang terus menatapku dengan pandangan kasihan, karena itulah aku harus berjuang untuk bangkit.

Dalam healing process hanya satu hal yang sulit untuk kulakukan, yaitu kemauan untuk memaafkan. Sayangnya satu hal inilah yang ternyata menjadi faktor utama hambatan untuk sembuh.

Aku masih belum ikhlas untuk memaafkan, karena itu aku sulit untuk melepas. Tidak mau orang yang menzalimi hidup bahagia dengan bebas. Di sisi lain aku masih takut Allah marah karena dalam hatiku juga terus tertanam kebencian, dalam doa aku berharap agar orang itu mendapatkan hukuman yang berat.

Dan aku terus bertanya ke orang-orang, tentang:
“Bolehkah kita tidak memaafkan orang yang menyakiti karena perbuatannya sudah keterlaluan? Apakah Allah akan marah karena manusia tidak mau ikhlas memaafkan?”

Siapapun yang kutanya saat itu tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan, termasuk seorang murobiah yang juga tidak yakin dengan pendapatnya sendiri, dan jadilah aku terus bertahan untuk tidak memaafkan. Namun kenyataannya healing process itu tidak pernah berjalan dengan sempurna, biarpun orang melihatku banyak tersenyum.

Hingga pada pada suatu waktu Allah Swt memberi jawaban melalui Al-Qur’an:

“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim, mereka membela diri.
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.

Tetapi orang-orang yang membela diri setelah dizalimi, tidak ada alasan untuk menyalahkan mereka.
Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapat siksaan yang pedih.

Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia”.

(Q.S As-Syura, 42:39-43)

Semua pertanyaan terjawab sudah. Allah Swt tidak menyalahkan orang yang dizalimi karena tidak mau memaafkan, dan bahwa suatu saat akan ada siksaan yang pedih untuk orang-orang yang zalim. Karena Allah Swt Maha Adil, Maha Mengetahui. Tetapi bila mau bersabar dan memaafkan, maka itu adalah perbuatan yang mulia bagi Allah.

Pilihannya ada pada diri manusia sendiri, mau terus bersusah payah untuk bangkit dalam kebencian sedangkan ketetapan Allah sudah ada untuk orang-orang yang zalim (berupa siksaan yang pedih), atau mau belajar memaafkan dan menjadi mulia di hadapan Allah.

Aku memilih untuk menjalani yang kedua.

Terlahir kembali

Alhamdulillah.. 

Jika ada yang melihat aku tersenyum hari ini, insya Allah senyuman itu benar-benar berasal dari hati.

Setelah mendapat jawaban dari Allah dan memutuskan untuk memaafkan, seketika itu juga rasa sakit itu  lenyap. Saat itu juga hati terbebas dari penyakit kebencian yang terus membuatnya koyak.

Seperti terlahir kembali. Allah menggiringku untuk menjadi pribadi baru, yang lebih kuat dan sabar. Allah membuatku melihat bahwa melalui permasalahan itu Dia justru sedang menyelamatkan, Dia sedang memanggil. 

Setelah itu aku berturut-turut menerima "kabar bahagia" dari orang yang pernah menyakiti, dan sangat bersyukur semua itu tidak lagi berpengaruh. Yang terasa hanya kelegaan, lega karena justru bisa tersenyum lepas karena sadar hatiku telah sembuh. Mungkin ini adalah hadiah dari Allah. Dan di balik ini semua, Dia pasti punya rencana yang jauh lebih baik dari yang telah direncanakan manusia.

Wallahua’lam bissawab


Untuk yang sedang mengalami sakit hati, semoga bisa membantu menyembuhkan.

Sunday, June 12, 2011

And The Angels Pray...



(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih dengan memuji Tuhan-Nya dan mereka beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata),

“Ya Tuhan kami rahmat dan ilmu yang ada pada-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan (agama)-Mu dan periharalah mereka dari azab neraka.

Ya Tuhan kami, masukkanlah mereka ke dalam surga ‘And yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang yang saleh di antara nenek moyang mereka, istri-istri dan keturunan mereka. Sungguh Engkaulah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana,

dan peliharalah mereka dari (bencana) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (bencana) kejahatan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah menganugerahkan rahmat kepadanya dan demikian itulah kemenangan yang agung.”

(Q.S Al-Mu’min, 40:7-9)

Ya Rabb, para malaikat-Mu mendoakan orang-orang yang bertaubat.

Semoga kami termasuk ke dalam golongan hamba-Mu yang Kau terima taubatnya, dan menjadi bagian dari doa para malaikat untuk orang-orang yang beriman. Aamiin.

Monday, May 30, 2011

Dekat dengan Kematian



“Maka bagaimana pendapatmu jika kepada mereka Kami berikan kenikmatan hidup beberapa tahun, kemudian datang kepada mereka azab yang diancamkan kepada mereka, niscaya tidak berguna bagi mereka kenikmatan yang mereka rasakan.”
(Q.S As-Syu’ara’, 26:205-207)


Pernah merenung tentang seberapa lama lagi usia kita di dunia? Bukan karena sedang frustasi, atau karena menerima vonis penyakit mematikan.

Aku pernah, yah.. akhir-akhir ini tepatnya. Karena satu kejadian, yang orang lain mungkin menganggapnya sebagai musibah tapi aku melihatnya sebagai satu lagi pembelajaran dari Allah Swt.

Dua minggu lalu aku mengalami kecelakaan kecil saat rafting di Sukabumi. Perahu karet kami lepas kendali dan menabrak batu tebing di pinggir sungai. Aku yang kebetulan  sok berani menantang adrenalin dengan duduk di depan perahu, jadi korban satu-satunya yang terhantam batu. Alhamdulillah helm masih terpasang kencang, dan Allah Swt yang Maha Melindungi masih mengizinkan aku untuk hidup.

Iya, hidup.

Rasanya seperti mendapatkan satu nyawa tambahan.

Karena hantaman di kepala sangat keras, bisa kurasakan kecemasan orang-orang di sekitar, termasuk aku sendiri yang saat batu tersebut menghantam kepalaku rasanya pasrah jika harus terbangun di atas kasur rumah sakit. Ajaib… Ada dorongan yang memintaku untuk langsung membuka mata dan akhirnya aku sadar, aku masih bernyawa. Allah masih memberiku kesempatan melanjutkan hidup.

Kejadian hari itu membuatku merenung tentang hal yang ternyata sangat dekat, yaitu kematian.

Mengingat kembali kejadian saat kepalaku terbentur, tentang kalimat terakhir apakah yang kusebut, Asma Allah, atau hanya pekik teriakan rasa takut?

Jika hidupku berakhir saat itu, apakah aku telah siap menghadap Allah, dan wajah seperti apakah yang kuhadapkan saat bertemu dengan-Nya.

Dan lebih dalam lagi kupikirkan, apa saja amalan baik yang kulakukan hari itu, hari kemarin, dan hari-hari sebelumnya. Atau justru aku baru berbuat dosa dan menyakiti hati orang-orang yang kutemui, atau.. yang terburuk adalah aku baru saja menyakiti hati kedua orang tua.

Sudah sempurnakah shalat-ku? Berapa banyak hutang puasa Ramadhan yang belum kubayar? Dan berapa banyak dosa yang belum sempat kumohonkan ampun dalam doa taubat.

Ya Rabb… Sungguh aku merasa sangat tidak siap, sangat teramat tidak siap. Bekalku sangat tidak cukup, sangat tidak layak menghadap-Mu.

Ternyata kematian itu dekat, sangat dekat, bahkan adalah yang terdekat. Tidak tahu kapan datang, dan tidak akan menunggu manusia untuk siap.

Kesempatan hidup ini mungkin tidak bisa kudapatkan lagi di waktu berikutnya. Allah telah memberiku pelajaran yang sangat berharga, sebuah teguran untuk lebih banyak mempersiapkan diri menjelang kematian.

Singkatnya, pagi ini tanpa sengaja kuperoleh hikmah dari salah satu ayat, sebuah nasihat langsung dari Sang Maha Pemberi Kehidupan:

"..... Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal." 
(Q.S Luqman, 31:34)

Jadi, masih layakkah kita merasakan diri jauh dari kematian?

Thursday, April 21, 2011

Awakened


“Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan hanya dengan mengatakan, “kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji? Dan sungguh,  Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang berdusta.” 
(QS. Al Ankabut, 29:2-3)

Aku terdiam disini memikirkan semua yang kukatakan secara panjang lebar. Tentang nasihat dan kalimat motivasi yang kusampaikan pada seorang teman. Aku sangat merasa bersalah pada Allah. Aku yang sekarang, merasa tidak pantas menasihati orang lain, justru aku yang harus menasihati diri sendiri.

Dua minggu ini tanpa sadar aku bergerak menjauh dari Allah. Kualitas ibadahku berkurang, dan suasana hatiku kacau. Mungkin ini yang dinamakan futur. Bukan berarti aku meragukan kekuasaan Allah Swt, tapi karena aku merasa mulai putus harapan dan ada banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam hati.

Aku mempertanyakan keadilan Allah, walaupun aku tahu Dia adalah Sang Maha Adil. Aku iri melihat apa yang orang lain punya, dan hal tersebut saat ini masih belum aku raih. Aku memikirkan kesan diri mereka, apa yang sudah aku lakukan dan mereka tidak lakukan, tapi mereka justru mendapatkannya dengan mudah meski (mungkin) tanpa meminta dalam doa. Dan aku memikirkan apa yang orang lain memandangku lebih, tapi tetap aku merasa lebih sulit untuk mendapatkan apa yang kini sangat aku inginkan. Aku mempertanyakan, “Ya Rabb.. Apakah yang Engkau aku inginkan dariku?”

Semakin kupikirkan, semakin tersadar bahwa Allah tidak membutuhkan apapun dari manusia. Aku yang butuh Dia, dan karena itulah aku berdoa dan giat beribadah. Tapi apakah benar kalau aku hanya taat beribadah agar Allah Swt berkenan mengabulkan keinginanku?

Sampai aku teringat perkataan seorang sahabat, tentang manusia yang tanpa sadar telah melakukan jual beli dengan Allah. Singkatnya begini: manusia memiliki keinginan, manusia meminta pada Allah, dan karena itulah manusia giat beribadah. Bukankah ini yang dinamakan jual beli dalam  beribadah?

Dari sini aku bisa melihat, betapa manusia yang menuntut keadilan Tuhan, telah berlaku tidak adil pada Tuhannya. Sedangkan Allah Sang Maha Pemurah, jika Dia mau menuntut keadilan dari jual beli yang dilakukan manusia, entah berapa banyak lagi manusia harus mengalami rentetan musibah kehilangan harta benda dan bahkan nyawa sekalipun tak akan mampu membayar semuanya.

Coba pikirkan tentang mata, hitung, telinga, mulut, dan seluruh organ tubuh manusia. Kalau Allah berkehendak, Dia bisa mengambil salah satunya dengan mudah. Lalu berapakah harga yang sanggup dibayar manusia agar bisa mendapatkannya lagi? Dan aku bersyukur, Allah masih mengizinkan aku memiliki itu semua secara gratis.

Bagaimana dengan udara? Pernahkah kita berhitung berapa banyak nafas yang dihembuskan selama hidup di dunia. Jika Allah mau memperhitungkannya, maka manusia tidak akan merasa sanggup untuk hidup karena setiap udara yang dihirup adalah hutang yang harus dibayar.

Allah berhak menahan apa yang aku inginkan, karena dalam jual beli yang aku lakukan tidak akan pernah seimbang. Dan aku membuat keputusan, untuk tidak lagi melakukan jual beli dalam beribadah.

Dan aku pun terbangun…

Dalam perjalanan pulang dari Bandung ke Jakarta, dari balik kaca mobil kulihat bundar matahari senja yang sinar kemerahannya memperindah langit sore. Pemandangan yang jarang kusaksikan secara langsung.

Teringat pemandangan langit saat perjalanan ke Bandung. Siang itu di tengah birunya langit ada semburat garis putih yang tidak biasa. Mungkin para malaikat sedang turun menengok bumi, khayalku sambil tersenyum. Hangat sinar matahari menerpa wajah, dan cerahnya cuaca membuat siang itu terlihat indah.

Aku pernah membuat tulisan tentang “Cinta”.

“Cinta itu wujud kemurahan dan kasih sayang Allah. Makna yang sebenarnya, bahasa tak terelakkan, karunia tak terbatas dari Sang Maha Pencipta”

Allah Yang Maha Penyayang, apakah Engkau sedang menunjukkan kepadaku bahwa Engkau mencintaiku? Melalui biru langit, hangat sinar matahari, sampai kemerahan langit senja yang di mataku terlihat sangat indah.

Tak peduli seberapa futur imanku, melalui pemandangan itu Engkau memanggil, membuatku sadar betapa besar ungkapan cinta-Mu Yang Agung dan betapa kerdil mentalku saat Engkau mengujiku dengan sedikit sentilan.

Engkau hanya memintaku untuk bersabar, dan mungkin Engkau sangat senang melihatku menangis dan khusyuk dalam berdoa. Karena saat itu aku benar-benar menunjukkan bahwa aku sangat membutuhkan-Mu, dan betapa aku sangat mencintai-Mu.

Aku yang salah, melakukan jual beli dalam beribadah. Jual beli yang tidak pantas dan tidak akan pernah sanggup kubayar.

Harus kuluruskan niat, aku beribadah bukan karena aku ingin meminta sesuatu pada-Mu, tapi karena aku rindu kepada-Mu, rindu bertemu dengan-Mu. Karena aku mencintai-Mu, melebihi apapun di alam semesta.

Dan kuyakin, Kau pasti memberikan balasan pada hamba-Mu yang beriman.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” 
(Q.S Al-Baqarah, 2:277)