Thursday, January 6, 2011

Oase di Padang Pasir

Mayoritas penghuni surga adalah fakir miskin, dan mereka akan dihisab lebih cepat satu hari (500 tahun dunia) daripada orang-orang kaya.

Begitu kesimpulan bunyi hadits yang aku baca dari buku biografi Nabi Muhammad Saw karya Martin Lings.

Aku memikirkan isi hadits itu selama berhari-hari. Kalau kebanyakan penghuni surga adalah para fakir miskin, lalu untuk apa manusia berlomba-lomba untuk menjadi kaya harta? Dan kalau menjadi kaya membuat kita harus menunggu dalam antrian selama 500 tahun hanya untuk dihisab, betapa banyak kerugian kalau manusia menjadi kaya. Lalu buat apa manusia mati-matian bekerja dan memiliki impian untuk hidup nyaman dan juga berkecukupan?

Sempat mendiskusikannya juga dengan seorang teman, pemahaman agamaku yang masih minim mungkin tidak sampai untuk mengungkap makna dari hadits itu. Dan jawabannya adalah... Kalau manusia menjadi kaya, harus banyak diamalkan karena di akhirat nanti semua harta tersebut akan dipertanyakan.

Walaupun masih belum puas, setidaknya bisa mengurangi kekhawatiran. Paling tidak aku jadi memperoleh kesimpulan bahwa tidak ada salahnya manusia (berjuang untuk) menjadi kaya, asalkan bisa mempertanggungjawabkan hartanya kepada Allah Swt.

Dari orang-orang kaya yang aku lihat, tidak sedikit juga di antara mereka yang dermawan. Tapi dari hadits tersebut aku merasa Allah tetap lebih mengasihi para fakir miskin. Perasaan tidak tenang itu aku biarkan menggantung, karena bagaimanapun sebagai muslim aku harus yakin, Allah Swt adalah Tuhan Yang Maha Adil.

Sampai suatu sore, lagi-lagi Allah Yang Maha Penuntun, membimbingku melalui satu kejadian sederhana.

--- *** ---

Maghrib itu aku terburu-buru pulang ke rumah. Karena sudah sangat gerah, sesampainya aku mau mandi dulu agar bisa sholat dalam keadaan bersih. Dari depan pagar aku lihat lampu garasi belum dinyalakan, tapi hari ini beda dari biasanya, seluruh penjuru rumah masih gelap. Mama ceroboh sekali sampai lampu teras depan juga lupa dia nyalakan.

Aku ketuk-ketuk pintu sampai juga jendela kamar mama, tapi juga tidak ada yang menjawab. Salah satu mobil di garasi juga gak ada. Positif.. semua sedang pergi dan mereka lupa meninggalkan kunci.

Ternyata mama dan dua adikku sedang berada di daerah pejaten dan terjebak macet. Aku lihat jam tangan, sudah jam 18.45. Kalau tetap mau tunggu mereka mungkin aku harus menjamak sholat maghrib ke isya, tapi aku kan bukan musafir... mana boleh?!

Lewat sms mama menyuruh untuk numpang sholat di salah satu rumah tetangga. Kesal sekali rasanya, menunggu mereka setengah jam lebih, lapar dan kedinginan, sedang hujan lebat dan sekarang harus mengungsi ke rumah tetangga. Terakhir kali aku berkunjung ke rumah para tetangga adalah waktu idul fitri kemarin. Rasanya sungkan. 

Apalagi paling malas memikirkan kamar mandi rumah orang lain. Mau wudhu di taman depan rumah, tapi khawatir kotor lagi karena jalanan yang becek. Duh Gusti... Apa rencana-Mu di balik ini?

Berjalan menembus hujan, aku datangi rumah tetangga yang terdekat. Rumah itu milik istri seorang pensiunan TNI, suaminya sudah meninggal dari sebelum aku lahir. Rumah mungil yang dulu pernah jadi korban kebakaran. Kira-kira waktu itu aku masih kelas 5 SD, tengah malam aku dan adik-adik lari berhamburan ke luar rumah. Rumah yang menempel di bagian belakang rumahku itu habis dilalap api. Beruntung pemiliknya berserta orang tuaku sedang pergi menjemput salah satu tetangga yang baru pulang dari tanah suci. Dan yang berdiri sekarang ini, hasil pembangunan yang didanai dari urunan warga.

Setahuku dia hidup bergantung dari pemberian anak-anaknya dan dari dana pensiunan almarhum suami yang jumlahnya jauh dari cukup. Dia punya tiga orang anak, dan di rumah itu kini dia tinggal dengan dua orang anak dan satu cucu, cucu yang (bisa dibilang) yatim. Aku pilih numpang sholat di rumahnya karena dia memang tetangga yang paling dekat dengan keluargaku.

Dari balik kaca rumah aku lihat si ibu sedang mengaji di ruang tamu, dan masih mengenakan mukena. Dia langsung membukakan pintu begitu aku mengucapkan salam dari teras depan. 

“Mau numpang sholat, mama lagi pergi dan lupa ninggalin kunci”, kataku.

Si ibu langsung memanggil anak dan cucunya yang sedang asik nonton TV di ruang tengah, minta disiapkan perlengkapan sholat. Rumah yang sangat sederhana, tapi suasananya hangat. Satu petak ruangan kecil itu difungsikan untuk tiga bagian, sisi kiri (sebelah ruang tamu) adalah ruang untuk menonton TV, dan sisi kanan terbagi dua untuk ruang makan dan kamar mandi (yang di depannya ada ruang cuci dan sumur), dan tidak ada pembatas sama sekali.

Jujur aku agak takut membayangkan bagaimana kamar mandinya, karena itu aku pinta untuk berwudhu di keran ruang cuci. Ibu itu langsung sibuk karena kerannya macet dan membereskan ruang cucinya.

“Kamar mandinya kotor”, katanya sambil membuka pintu kamar mandi, lalu memeriksa keran di bak kamar mandi yang juga sangat sedikit keluar airnya. Dia begitu sibuk membersihkan segala sesuatu hanya agar aku nyaman berwudhu disana.

“Udah metha wudhu di kamar mandi aja, itu bersih kok”, kataku karena tidak mau membuat dia lebih repot lagi. Dan Subhannallah... kamar mandinya memang bersih, hanya ruangnya yang sempit dan lusuh karena usia.

Selesai wudhu dia menyuruhku sholat maghrib di dalam kamarnya. Dari luar aku lihat lampunya temaram, suasana yang biasanya membuatku tidak nyaman. Anaknya meminta aku sholat di kamarnya karena lebih luas, tapi aku menolak karena khawatir membuat repot. Di dalam kamar si ibu, dia sudah mempersiapkan semuanya. Sajadah dia bentangkan di ruang sempit antara tembok dan tempat tidur, lagi-lagi aku merinding, aku agak “phobia” dengan pojokan karena biasanya kotor. Tapi aku sangat menghargai si ibu yang sudah susah payah membereskan setiap tempat agar aku nyaman. Di pojokan itu semuanya (lagi-lagi) bersih, kusingkirkan rasa takut dan ada damai yang menyelimuti hati. Kuambil mukena yang dia letakkan di atas tempat tidurnya, dan kali ini rasa terharu semakin menjadi-jadi.  Mukena itu masih wangi.. dia sengaja menyiapkan mukena yang bagus dan belum dipakai.

Ketika sujud di tengah sholat, air mataku menetes. Bukan hanya mukena, sajadah itu pun tampaknya baru dia keluarkan dari lemari. Setelah sholat, dia masih menawariku makan malam bersama keluarganya.

Bagai oase di padang pasir...


Allah Yang Maha Adil, sekarang aku mengerti mengapa Kau lebih mengutamakan kaum fakir dalam antrian hisab hari akhir.

Aku juga mengerti kenapa Rasulullah Saw lebih memilih hidup dengan sangat sederhana sedangkan beliau mampu memuliakan Siti Khadijah dengan 100 unta merah (mohon koreksi jika jumlahnya salah) yang setara dengan miliaran rupiah sebagai mas kawin pernikahan.

Harta yang manusia kumpulkan di dunia, hanya akan menjadi bumerang yang menghempaskan pemiliknya ke neraka jika tidak dipergunakan secara bijak atau berlebihan. Tak jarang harta juga bisa menjadikan manusia menjadi pribadi yang sombong atau riya dalam beramal.

Orang-orang kaya yang dermawan bisa membagikan harta sesuka hati kepada fakir miskin, karena mereka memang mampu. Tapi tetanggaku itu, berusaha memberiku yang terbaik dari yang dia punya dalam segala keterbatasan.

Mereka lebih terbiasa dengan rasa sabar dan ikhlas atas segala ujian Allah Swt, khususnya dalam kesulitanan materil. Kekayaan mereka terletak di dalam hati.

Orang-orang yang tetap memiliki iman dan tetap mau mendekatkan diri kepada Tuhannya, sedangkan mereka banyak mengalami kesulitan. Rasanya juga adil kalau merekalah yang menjadi penghuni prioritas dalam surga yang kekal. Nikmat Allah yang dinyatakan dalam hadits itu adalah pelipur lara bagi manusia-manusia beriman yang menjadi fakir di dunia.

Nikmat dan segala kemudahan fasilitas di akhirat bagi kaum fakir bagaikan oase yang Allah berikan sebagai penawar dahaga kesusahan yang mereka taklukkan di padang pasir dunia.

Bukan berarti aku harus menyerah dalam mengumpulkan nikmat harta demi kenyamanan hidup di dunia, karena Allah tidak suka orang-orang yang malas. Tapi aku mau belajar lebih sabar dan ikhlas, belajar untuk lebih banyak melakukan sesuatu yang berguna untuk senyuman orang-orang di sekitar. Aku harus lebih banyak bersyukur atas segala nikmat kemudahan yang Allah Swt berikan di dunia, karena Allah juga mencintai hamba-Nya yang bersyukur. Aku mau jadi orang yang bijak dan penuh rasa syukur, karena sebagai hamba Allah, aku juga berharap untuk diterima dalam surga.

2 comments:

  1. Subhanallah..^____^

    Jadi orang islam harus sholeh, pintar dan kaya, karena kefakiran dekat dengan ke kafiran..

    Betapa banyak orang yang miskin dengan rela menjual akidahnya demi sesuap nasi..:(

    itu juga akan menjadi pertanggung jawaban bagi mereka yang mampu dan lalai..

    huwaaaa...:((

    Semangaaat..ayoo kita harus sholeh, pintar, dan kaya..


    ups..main komen aja ga salam kenal..xixi

    Salam kenal :D

    ReplyDelete
  2. Salam kenal juga mba nina :)

    Iya mudah-mudahan ga ada yg salah paham. Maksud tulisan itu agar kita tidak sombong dengan harta, terlebih ada tanggung jawab besar dan akan dihisab dari mana asalnya dan untuk apa harta tersebut dipergunakan di dunia.

    Sebagai muslim, selain sholeh tentu harus pintar, agar bisa menjadi pemimpin dan Islam makin berkembang. Harus kaya, diantaranya karena salah satu rukum Islam yaitu naik haji (jika mampu). Islam juga mengajarkan manusia untuk berzakat, yg tentunya butuh adanya harta.

    Semoga bermanfaat, bantu dikoreksi kalau ada yg salah ya :)

    ReplyDelete