Sunday, January 22, 2012

Someone That I Can Trust



Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”

(Q.S Al-Furqan, 25:74)


“Punya planning apa tahun ini”, tanya seorang sahabat
“Menikah, hehehe.. lagi-lagi”
“Sedang berproses atau gimana?” lanjutnya bertanya
“Belum”
“Sama aku juga, kayaknya perlu waktu untuk cari sebenarnya mau yang kayak apa.”

***

Aku setuju dengan pernyataan dari sahabat di atas. Saat ini aku ingin menikah, tapi juga perlu waktu untuk mencari tahu apa yang aku mau.

Ini mungkin juga menjadi dilema yang dialami banyak orang. Kesendirian bukan berarti tidak mempunyai pilihan, hanya saja bingung dengan pilihan yang ada. Mengapa dari banyak pilihan belum ada yang membuat hati menjadi yakin untuk maju.

Hanya saja aku hidup dalam budaya timur, dimana wanita berusia di atas 25 tahun yang belum menikah seringkali mendapatkan banyak tekanan. Entah itu dari keluarga, atau sadar tidak sadar seringkali kita sendiri selaku teman bisa memberikan pertanyaan yang tidak sengaja membuat yang ditanya merasa terpojok, seperti: “Kapan nih kamu kirim undangan?”

Sekali dua kali masih bisa mentolerir, tapi karena seiring dengan bertambah tuanya usia jumlah penanya beserta intensitasnya semakin bertambah, lama kelamaan hati menjadi jengah. Kalau sudah begini mulai muncul perenungan, “apakah harus menikah karena terdesak usia, walaupun harus dengan orang yang tidak kita suka?”

Hal pertama yang terpikir dari pertanyaan tersebut adalah bahwa aku takut. Takut menjalani sisa hidup dengan orang yang salah, takut suatu hari aku akan menyesal. Tapi sungguh aku sangat ingin menikah, ingin menyempurnakan separuh agama dan memiliki sebuah keluarga yang dirahmati Allah Swt.

Akhirnya selama beberapa hari terakhir ini aku menyibukkan pikiran dengan berbagai prolog. Tentang semua doa-doa yang kupanjatkan pada Sang Maha Pengabul Doa, tentang ketidaksabaran orang tua, tentang keikhlasanku untuk bersabar selagi terus berusaha memperbaiki diri, dan tentang apakah aku harus menyerah dan berdamai dengan keinginan diri?

Kutelaah kutipan dari salah satu ayat Al-Qur’an:
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula), ...” (Q.S An-Nuur, 24:26)

Ayat ini sudah kubaca berulang kali, bahwa Allah Yang Maha Adil mengatur sedemikian rupa agar manusia mendapatkan jodohnya yang sekufu, sesuai dengan derajat kebaikan/ keimanan. Yang harus dilakukan adalah meneguhkan iman, bahwa janji Allah itu benar, dan pasti akan tiba saatnya untuk menjadi indah pada waktu yang Dia telah tentukan.

Usia bukanlah alasan utama, yang diperlukan keyakinan bahwa dia adalah orang yang tepat. Dan yang tepat itu yang harus didefinisikan.

Pria baik, dengan pemahaman agama yang baik. Akan lebih baik bila disertai dengan akhlak yang baik. Karena yang kelak akan dihadapi adalah perilakunya, bukan hanya melayani kepintaran ilmu.

Lalu pria baik, yang pemahaman dan pengamalan agama baik, tapi dalam hal lain kurang sesuai dengan hati. Dengan yang ini aku takut akan banyak melakukan kedzaliman, terutama dengan kurangnya rasa syukur. Belum lagi masih harus juga mempertimbangkan kesesuaian pilihan dengan keinginan orang tua.

Dan yang terakhir adalah bila aku menemukan pria yang sedang belajar untuk menjadi baik, dan dalam kriteria lainnya tidak ada kekurangan. Perlu ketelitian lebih untuk mencari tahu dan menilai, apakah dia bisa menjadi imam yang istiqomah. Karena bagaimana pun juga, agama tetap menjadi pegangan utama. Aku tidak mau bila nanti Allah mengkaruniai kami keturunan, kami tidak bisa mendidiknya dengan amanah. Karena tujuan utamaku menikah adalah kelak ingin bisa menjadi keluarga yang Allah kumpulkan lagi dalam jannah.

Bingung dengan keinginanku sendiri, apakah memang terlalu tinggi?

“Bukan”, jawab sahabatku dalam sebuah perbincangan pagi. Karena untuk menikah harus diniatkan hanya sekali dalam seumur hidup, dan untuk itu kita harus percaya benar dengan sosok yang dipilih.

Itu dia, rasa “Percaya”. Hal inilah yang masih belum kutemukan hingga kini. Semua kriteria yang aku selalu sebutkan dalam doa, semua penilaian yang aku lakukan adalah untuk menemukan sosok yang benar-benar bisa aku percaya.

Aku ternyata tidak terlalu peduli dengan berbagai latar belakang masa lalunya, malah sebenarnya jarang menanyakan terlalu detail. Yang benar-benar ingin aku ketahui adalah:

Apakah dia di masa depan bisa menjadi pribadi yang aku percaya?

Percaya bahwa dia bisa menjadi orang yang jujur dan setia,
Percaya bahwa keluargaku juga memilihnya,
Percaya bahwa dia mampu melindungi dan membuatku merasa tenteram bersamanya,
Percaya bahwa dia segenap tenaga akan berusaha membahagiakan dan membuat keluarga kami berkecukupan (cukup, bukan berarti mewah),
Percaya bahwa kami bisa membangun dan mewujudkan impian kami bersama,
Percaya bahwa bersamanya kami bisa mendidik keluarga yang dicintai Allah,
Percaya bahwa dia adalah imam yang dapat membimbing kami sekeluarga untuk meraih surga.

Percaya, bahwa dia juga memiliki sesuatu keyakinan yang mampu menjaganya dari dalam dirinya sendiri, ketika segala hal di sekeliling kami berjatuhan.

Maka, bila suatu waktu muncul lagi pertanyaan:

“Sebenarnya orang seperti apa yang kamu tunggu?”

Insya Allah akan kujawab dengan satu kalimat sederhana:

“Orang yang bisa aku percaya.”

No comments:

Post a Comment