Tuesday, February 15, 2011

Menjemput Takdir


“… Ketahuilah bahwa apa yang ditetapkan luput darimu maka tidak akan menimpamu, dan apa yang ditetapkan menimpamu tidak akan luput darimu,….”
(HR. Abu bin Humaid)

Sebagai manusia aku tidak mau berhenti belajar, dan ingin berusaha menjalani hidup sesuai dengan kehendak Allah Swt. Salah satunya yaitu dengan menjalani prinsip untuk tidak lagi berpacaran sebelum menikah.

Terkesan unik (atau aneh) dan juga prosedural. Mungkin hal itu pula yang membuat banyak orang melemparkan pertanyaan dan mendebatku tentang berbagai resiko dari pernikahan tanpa pengenalan mendalam terlebih dulu. Mereka mengatakan, tak apalah pacaran… asalkan positif.

Dalam kamusku saat ini kata “pacaran positif” berada pada Bab mengenai hidup dalam pernikahan. Aku tidak lagi menjalani komunikasi intens dengan lawan jenis, menghindarkan diri dari pertemuan berdua tanpa alasan urgenitas, menghijabkan kulitku dari persentuhan tak perlu walaupun hanya sekedar bergandengan tangan. Karena menurutku semua hal yang positif adalah yang mendapatkan restu dari Allah Swt dalam bingkai syariat.

Berhubung dalam seminggu ini aku banyak menerima pertanyaan, akhirnya kutuangkan juga dalam tulisan ini. Berikut hasil pemikiran “simple” yang kucoba rumuskan seringkas mungkin.

Dua Jalan Terbentang

Dalam hidup manusia dihadapkan dengan berbagai pilihan. Ya atau tidak, kiri atau kanan, hitam atau putih, benar atau salah, jalan takwa atau jalan hawa nafsu.

Contoh perbandingannya seperti ini:

Ada dua pasangan yang sama-sama hidup bersama dalam satu rumah, sama-sama memiliki anak, sama-sama merasa bahagia dan hidup saling mendukung satu sama lain. Yang membedakan hanya status, menikah atau tidak menikah. Atau dalam bahasa lain yang lebih gamblang: menikah, atau buffalo gathering alias kumpul kebo. Hehe..

Dua pasangan lainnya sama-sama menuju pada pernikahan, sama-sama mendapatkan restu dan dukungan dari orang tua, sama-sama merasa cocok dan yakin dengan pasangan yang akan dinikahi. Yang membedakan hanya jalan yang digunakan, ta’aruf atau pacaran.

Perbedaan dari dua contoh tersebut ada pada satu kata sederhana, yaitu “Jalan”. Ada dua jalan terbentang, yang satu adalah jalan yang ditempuh dengan menuruti kenyamanan diri, dan yang lainnya adalah jalan prosedural sesuai dengan syariat Allah. Yang satu menjanjikan kebahagiaan duniawi (yang menurutnya) tanpa kerumitan, dan yang lainnya menjanjikan kebahagiaan dalam ridho Allah.

Jadi, jalan manakah yang harus dipilih? 

Hati nuraniku memilih jalan yang membuat Allah tersenyum. Aku ingin ridho Allah, aku ingin restu Allah. Aku tidak lagi mau mencari pembenaran atas celah yang diambil dalam  tabir “kenyamanan yang positif”.

Lalu mengenai kekhawatiran tentang pilihan yang salah dan akan menimbulkan konflik di kemudian hari, aku percaya pada suratan takdir. Pernah dengar tentang takdir tetap dan takdir yang harus memilih dulu antara “Ya” atau “Tidak”?

Takdir tentang jodoh adalah takdir yang tetap, aku yakin nama jodohku sudah tercantum dalam Lauh Mahfudz, dan hanya Allah Yang Maha Tahu. Jawaban yang aku mau adalah jawaban langsung dari Allah Swt yang kudapat melalui istikharah. Dan aku yakin Allah tidak akan pernah salah, hanya Allah yang tidak akan membuatku kecewa.

Inilah jalan yang aku tempuh. Di ujung koridor aku yakin “dia” sedang menunggu, dan aku ingin menemuinya melalui jalan lurus yang aku yakini benar… tanpa berbelok lagi ke tempat lain. Aku sedang berjalan menjemput takdirku, insya Allah.

3 comments:

  1. Amin... Jazakillah khoiron katsiro mba nia :)

    ReplyDelete
  2. HEhehe,,,,,, tujuan dan niat yg mulia,,,, menggapai ridho ALLAH dengan menikah, dengan menggenapkan separuh diennya... iya benar, Allah SWT menciptakan manusia berpasang-pasangan seperti yang tertuang dalam Surat Ar-Ruum: 21, dengan menikah dan menciptakan Keluarga yang Sakinah mawaddah Warrahmah. Ibarat berpuasa, begitu nikmat ketika berbuka, ketika Allah menyapa lembut dan memberikan pahala... InsyaAllah

    ReplyDelete